Seperti kebanyakan pesantren, Pondok Pesantren Miftahul Huda Kroya juga memiliki sejarah perjalanan yang panjang. Meski diresmikan pada 1960-an, namun cikal bakal pesantren ini telah bermula pada masa sebelum kemerdekaan.
Embrio pesantren ini berasal dari dua buah asrama sederhana dan sebuah mushola kecil di sebelah selatan stasiun Kroya yang dirintis oleh K. H. M. Minhajul Adzkiya. Tidak diketahui dengan pasti tarikh pendirian pesantren tersebut. Sejauh yang bisa diingat, pesantren tersebut telah ada pra Kemerdekaan. Meski demikian, jumlah santri pada masa awal ini mencapai 200 orang yang berasal dari wilayah Kroya dan sekitarnya.
Sayangnya, sebelum sempat berkembang lebih jauh, pada masa Aksi Militer Belanda II (Clash II), Kyai Adzkiya, para santri, dan beberapa warga terpaksa mengungsi. Awalnya, beliau mengungsi ke wilayah Ngasinan, sebuah wilayah di Kebasen, Kabupaten Banyumas, dan kemudian ke Rawaseser, dusun kecil yang merupakan bagian dari Desa Mujur Lor, kecamatan Kroya. Di tengah kesulitan hidup sebagai pengungsi, Kyai Adzkiya tetap istiqomah mengajar para santri yang mengiringi beliau.
Ketika kondisi telah aman Pasca Clash II, Kyai Adzkiya dan para santrinya kembali ke Kroya dan mendapati pesantrennya telah rata dengan tanah. Sekali lagi, Kyai Adzkiya harus pindah. Dan, tempat yang kali ini dituju adalah Kauman, Kroya.
Selama beberapa waktu Kyai Adzkiya tinggal di Kauman, Kroya, mengajar santri sembari menjadi pimpinan Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kroya hingga kemudian harus pindah lagi ketika diminta untuk memimpin Pengadilan Agama di Kabupaten Wonosobo. Di Wonosobo, Kyai Adzkiya tinggal hingga tahun 1962 seiring dengan datangnya masa pension.
Selepas pensiun, Kyai Adzkiya kembali ke Kroya dan kali ini beliau tinggal di wilayah Semingkir, Bajing Kulon. Pada tahun 1960-an, bersama dengan beberapa kolega kyai lainnya, di antaranya K. H. Munawir al-Hafidz, Kyai Adzkiya kembali merintis pesantren yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pesantren Miftahul Huda.
Sepeninggal kiai Adzkiya, pondok pesantren Miftahul Huda diasuh secara berturut-turut oleh KH Tarmidzi Affandi, KH Zainuddin, KH. Hamam Adzkiya, KH Suíada, dan Hj Mas’adah Machali untuk pondok pesantren putri al-Hidayah.
Saat ini, pondok pesantren Miftahul Huda dan pondok pesantren putri Al-Hidayah mendidik sekitar 350-an santri dan diasuh oleh putra KHM Minhajul Adzkiya yang egaliter, tetapi tetap tegas, yaitu KH Hamam Adzkiya, KH Suíada Adzkiya, dan Hj Masíadah Machali, juga KH. Mudatsir Mughni yang, dibantu oleh para pengurus dan dewan asatidz.
Lebih kurang 75% santri mengikuti pendidikan formal baik SD, SLTP, dan SMA/SMK yang diselenggarakan oleh Yayasan Miftahul Huda Kroya dan di luar yayasan, seperti SMP Negeri, SMA Negeri, MAN, dan lain-lain. Sebanyak 25% lainnya, khusus mendalami kajian ilmu-ilmu keagamaan masuk di dalam Halaqah Diniyah, yang terdiri atas kelas persiapan (Iídad), kelas satu, dua, dan kelas tiga.
Konsep pengelolaannya lebih diorientasikan pada peningkatan dan pengembangan secara kualitatif, dengan tanpa mengabaikan yang kuantitatif. Semua santri diperlakukan sama. Qanun pesantren berlaku untuk semua santri tanpa kecuali.
Kurikulum pesantren disusun berdasarkan kebutuhan dan tingkat kemampuan santri. Tetapi pesantren memberikan kebebasan kepada seluruh santri, untuk bereksplorasi sendiri, dengan memanfaatkan perpustakaan yang tersedia. Untuk mengikuti perkembangan situasi sosial politik budaya, dan lain-lain, pesantren berlangganan Suara Merdeka.