Kisah Bahram dan Keutamaan Bermurah Hati
Oleh: Jazil Nadia Tamama
Suatu saat, Syekh Abdullah Ibnul Mubarak bercerita, “Dalam satu kesempatan ketika aku pergi berhaji dan berada di Hijir Ismail, aku tertidur. Aku bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ. Dalam mimpiku tersebut Beliau ﷺ bersabda, “Apabila engkau pulang ke Baghdad, mampirlah di sebuah tempat. Carilah orang bernama Bahram yang beragama Majusi. Sampaikan salamku dan katakan bahwa Allah ridha kepadanya.”
Aku terbangun dan mengucapkan, “Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Suci dan Agung. Ini adalah mimpi setan. Kemudian aku berwudhu, shalat, lalu tawaf. Aku tertidur kembali dan bermimpi hal yang sama sampai tiga kali.”
Usai mengerjakan haji dan kembali ke Baghdad, kucari orang bernama Bahram tersebut. Setelah beberapa saat, aku mendapati seorang yang sudah tua. Aku bertanya padanya, “Apakah engkau Bahram orang Majusi?” Dia menjawab, “Benar.”
Aku bertanya lagi, “Apa engkau punya kebaikan di sisi Allah?”
Dengan yakin dia menjawab, “Ya. Punya. Aku memberikan hutang kepada orang yang membutuhkan. Dan ketika mereka mengembalikan, mereka membayar lebih. Menurutku ini kebaikan.”
Aku berkata, “itu haram.”
“Apakah ada kebaikan yang lain?” tanyaku lagi.
Bahram menjawab, “Ya. Aku mempunyai empat putri dan empat putra. Aku nikahkan putri-putriku dengan putra-putraku. Menurutku inilah kebaikan.”
Aku berkata, “Itu haram.”
“Apa engkau memiliki kebaikan selain itu?” kejarku.
Bahram menjawab, “Ya. Aku mengadakan walimah bagi orang Majusi ketika menikahkan putri-putriku.”
Aku berkata, “Ini juga haram.”
“Apa engkau punya selain itu?”
Bahram menjawab, “Ya. Aku mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Karena aku tidak mendapatkan pemuda yang sepadan untuknya, maka kunikahkan dia dengan diriku sendiri. Malamnya, kuadakan walimah dengan mengundang lebih dari seribu orang Majusi. Itu adalah malam pertamaku dengan putriku.”
Aku berkata, “Ini juga haram.”
“Apakah engkau punya kebaikan selain itu?” Hampir-hampir aku tak sabar karena apa yang disebut kebaikan olehnya justru hal-hal yang diharamkan.
Mendengar pertanyaanku, Bahram, seperti biasa, menjawab dengan yakin, “Ya.” Katanya.
“Ketika malam pertama dengan putriku,” Bahram mengawali cerita, “ada seorang wanita yang agama sama denganmu mengetuk pintuku. Dia meminta lampu dariku. Kuberikan lampu kepadanya. Namun anehnya, ketika berjalan pulang, dia justru memadamkannya. Kejadian ini terus berulang hingga tiga kali. Saat itulah aku merasa curiga. Jangan-jangan wanita ini adalah mata-mata pencuri.”
“Kemudian,” sambung Bahram, “aku keluar membuntutinya. Ketika dia masuk ke rumahnya, dia disambut oleh putri-putrinya yang bertanya, ‘Wahai ibu, apakah engkau membawa makanan untuk kami? Kami sudah tidak kuat lagi menahan lapar.’ Mendapat pertanyaan seperti itu, wanita itupun menangis. Sambil berlinang air mata, dia berkata, “Aku malu kepada Tuhanku jika harus meminta kepada selain-Nya. Apalagi jika harus meminta kepada tetangga kita yang orang Majusi.”
“Demi mendengar itu aku merasa iba,” lanjut Bahram, “kuputuskan untuk pulang ke rumah dan mengambil nampan. Kupenuhi nampan itu dengan bermacam makanan. Kemudian aku pergi mengantarkan makanan ke rumah wanita itu.”
Mendengar cerita tersebut, Syekh Ibnu Mubarak berkata, “nah ini baru kebaikan!” katanya senang. “ Ada kabar gembira bagimu,” lanjut Syekh Ibnu Mubarak. Kemudian Syekh Ibnu Mubarak menceritakan kepada Bahram tentang mimpinya berjumpa dengan Rasulullah. Tentang Rasulullah yang berkirim salam kepadanya dan bahwa Allah ridha kepada Bahram.
Mendengar cerita Syekh Ibnu Mubarak, Bahram merasa takjub. Pada saat itu juga, dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Lalu dia jatuh rebah dan mati seketika itu juga. “Aku tidak meninggalkan Bahram, hingga aku memandikan, mengafani, menyalati, dan menguburkannya,” kata Syekh Ibnu Mubarak. Kemudian beliau berwasiat, “Hai hamba-hamba Allah, bermurah hatilah terhadap makhluk Allah dengan sebaik-baiknya karena hal itu bisa mengubah musuh menjadi kekasih.”
Sejalan dengan kisah tersebut, diriwayatkan dari Sayidah Aisah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang pelit itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dari neraka. Orang bodoh yang murah hati lebih disukai Allah daripada orang alim tapi kikir.”
(Jazil Nadia Tamama, santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Tulisan ini disarikan dari Kitab al-‘Ushfuriyah.)