Arti Penting Mazhab

Belakangan ini, kita sering mendengar beberapa kalangan menyeru untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW tanpa menggunakan pemahaman para imam mazhab. Menurut mereka, hanya al-Qur’an dan Hadis sajalah yang terbebas dari potensi kesalahan dan kekeliruan, sedangkan pendapat ulama pastilah tidak lepas dari potensi kekeliruan. Ulama adalah manusia biasa, tidak ma’shum, sehingga berpotensi keliru. Oleh karena itu, menurut mereka, untuk menghindari potensi kekeliruan maka rujuklah ke sumbernya langsung, al-Qur’an dan Hadis, tidak usahlah menganut mazhab tertentu.

Namun, sebelum mengamini atau mengikuti pendapat tersebut di atas, mari kita uji terlebih dahulu pemahaman kita mengenai mazhab itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan: Apakah yang disebut mazhab itu? Apakah kita benar-benar memahami seluk-beluk dan hakikat mazhab? Jangan-jangan kebodohan kita tentang mazhab-lah yang membuat kita berpendapat seperti di atas. Karena kebodohan dan ketidakpahaman kita tentang mazhab-lah, kita berpendapat bahwa mazhab itu tidak penting. Ibaratnya, seseorang yang tidak mengetahui sesuatu tentu tidak bisa memahami atau merasakan manfaat dari sesuatu tersebut. Dan, pendapat yang dilandasi oleh ketidaktahuan tentulah menyesatkan.

Di Indonesia, kita mengenal ada empat mazhab besar yakni Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Nama-nama tersebut merepresentasikan pendiri dari mazhab bersangkutan. Namun, apakah mazhab Syafi’i, misalnya, hanya berkenaan dengan Imam Syafi’i saja? Atau mazhab Hanafi hanya berkenaan dengan imam Hanafi saja? Demikian juga Hambali dan Malik? Tentu saja tidak.

Beliau berempat adalah pendiri dan sekaligus ikon dari mazhabnya masing-masing. Selain beliau berempat, terdapat puluhan bahkan ratusan (atau mungkin) ribuan ulama lain yang bekerja dalam sebuah mazhab. Jadi, mazhab tidaklah melulu berkenaan dengan pendirinya, melainkan sebuah jalinan kerja dari banyak ulama yang kemudian membentuk sebuah institusi dan sistemnya.

Ringkasnya, mazhab merepresentasikan eksperimentasi dan kerja para ulama selama bertahun-tahun, atau bahkan berabad-abad. Jadi, di dalam sebuah mazhab ada sistem berpikir yang khas yang bisa digunakan untuk mengembangkan kaidah-kaidah pokok untuk menjawab berbagai persoalan keagamaan. Selain itu, terdapat juga kriteria-kriteria yang menentukan kewenangan seseorang dalam mengeluarkan gagasan, pandangan, dan fatwa yang tentu saja didasarkan atas penguasaan dan kepakaran orang tersebut di dalam masalah hukum Islam, ditambah juga kesalehan orang tersebut.

Kaidah pokok, sistem bernalar, dan kriteria personal ini disusun tidak lain untuk meminimalisasi kekeliruan dan kesalahan. Seandainya ada seorang yang tidak memahami kaidah pokok dan sistem nalar suatu bidang tertentu, namun kemudian mengeluarkan pandangan dan pendapat dengan seenak mulutnya sendiri, tentu saja yang muncul adalah kekacauan dan kebingungan. Demikian juga, seorang yang tidak memahami seluk-beluk fiqih dan kemudian mengeluarkan pendapat dan pandangan secara serampangan, tentu saja akan menimbulkan kontroversi karena melenceng dari pandangan jumhur ulama, atau malah melenceng dari al-Qur’an dan Hadis. Pendapat yang demikian itu tentu tidak bisa diterima karena sesat dan menyesatkan.

Dengan demikian, telah agak terang bahwa pandangan anti mazhab bukanlah pandangan yang ideal untuk diikuti. Banyak ulama telah membahas persoalan ini sehingga rasa-rasanya jika kita cukup sabar dan teliti, kita bisa menguji pendapat anti mazhab tersebut dengan pendapat para ulama. Salah satu ulama yang membahas persoalan mengenai pentingnya bermazhab adalah pendiri Nahdlatul Ulama, Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari.

 

Arti Penting Bermazhab Menurut K. H. Hasyim Asy’ari

Dalam kitab Risalah Ahlu Sunnah wal Jamaah, K. H. Hasyim Asy’ari menegaskan arti penting untuk bermazhab dan mengikuti sawadzul a’dom (kelompok mayoritas) seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW: “ketika terjadi ikhtilaf, maka kalian harus mengikuti sawadul a’dzom (kelompok mayoritas), bersama kebenaran dan para pengusungnya” (H. R. Ibnu Majah). Atau dalam riwayat Imam Tirmidzi disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan seluruh umatku berada dalam kesesatan. Dan Allah berpihak bersama jamaah. Barangsiapa yang menyendiri (menyimpang dari jamaah), dia akan menyendiri ke neraka.”

Dalam kitab tersebut, Hadrotus Syaikh juga memberikan keterangan mengenai siapa yang disebut sebagai ulama salaf. Menurut beliau para ulama tersebut adalah ulama yang mengikuti kelompok salafus shalih dan para ulama yang sejalan dengan para ulama dua tanah suci yang mulia, para ulama al-Azhar yang merupakan suri teladan bagi para pengusung kebenaran, serta berbagai ulama yang tersebar di seluruh penjuru dunia dan tidak mungkin disebutkan satu persatu karena banyaknya.

Lebih lanjut beliau menambahkan bahwa para ulama generasi terdahulu (salaf) yang berpegang pada kebenaran ini merupakan pengikut mazhab empat. Imam Bukhori, misalnya, merupakan pengikut mazhab Syafi’i dan belajar dari Imam Humaidi, Imam Za’faroni, dan al-Karobisyi. Demikian juga dengan Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Nasai. Sementara Imam Junaid mengikuti mazhab Tsauri, Imam Syibli mengikut mazhab Maliki, Imam Muhasibi mengikuti mazhab Syafi’i, Imam Jarir mengikuti mazhab Hanafi, Syekh Abdul Qodir al-Jailani mengikuti mazhab Hambali, dan Abu Hasan As-Syadzili mengikuti mazhab Maliki.

Mengapa para tokoh sekaliber Imam Bukhori dan yang lainnya menganut mazhab tertentu dan tidak mendirikan mazhab sendiri? Salah satunya sebabnya, menurut Hadrotus Syaikh, adalah berpegang kepada madzhab tertentu akan membuat seseorang lebih mudah menghimpun fakta, memahami masalah, mendalami persoalan dan mendapatkan apa yang dibutuhkan. Prinsip inilah yang dianut oleh generasi salafus salih dan para masyayikh (kiai) di masa lalu.

Oleh karena itu, menurut Hadrotus Syekh, orang harus mengikuti panduan dari para ulama umat seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Telah menjadi ijmak para ulama agar seseorang tidak keluar dari panduan keempat imam Mazhab tersebut. Keluar dari mereka berarti melenceng dari apa yang menjadi pegangan kelompok salafus sholih (para ulama terdahulu yang saleh). Nabi SAW, bersabda: “orang yang menyendiri (berpisah dari kelompok) akan menyendiri ke neraka.”

Sebagai penutup, penting kiranya dinyatakan bahwa masih banyak hal yang bisa digali mengenai hakikat mazhab dan arti pentingnya. Pembahasan tersebut masih sangat dalam dan luas, jauh melebihi apa yang dihidangkan dalam tulisan ini. Tulisan ini memang dimaksudkan hanya sebagai tulisan sederhana sehingga barangkali masih belum bisa menjawab banyak hal.

Namun jangan dilupakan bahwa ketika para ulama sekaliber Imam Bukhori saja tetap bermazhab, maka tentulah orang-orang yang kalibernya di bawah beliau jelas lebih membutuhkan tuntunan para imam mazhab. Sehingga, tidak pantas rasanya untuk kemudian menebah dada menyatakan bahwa saya tidak bermazhab, lebih-lebih sampai menyatakan anti mazhab. (IPG)

 

Sumber:

Hadroyus Syaikh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: