Mengendalikan Amarah
Oleh: K. H. Su’ada Adzkiya
Melalui koran atau surat kabar, melalui tabloid, majalah, atau televisi, akhir-akhir ini kita disuguhi berita tentang tindak kekerasan sampai pembunuhan, kerusuhan massal, pengrusakan massal, termasuk pembakaran dan macam-macam lagi, hampir setiap hari.
Bagi mereka yang mau berpikir, walau sekedarnya saja, pasti timbul pertanyaan apa sebab bisa terjadi demikian, apa sebab di kalangan bangsa yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah, bangsa yang sopan, bangsa yang pancasila, tiba-tiba bisa terjadi demikian itu.
Memang banyak jawaban yang dapat dikemukakan. Antara lain karena krisis ekonomi, kesenjangan sosial dan kecemburuan, persoalan sentimen ras dan agama, hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah, merosotnya wibawa aparat keamanan, dan masih banyak lagi. Yang jelas, apapun sebab awalnya, namun pada akhirnya adalah rasa jengkel dan marah. Jadi, semua itu merupakan pelampiasan dari rasa jengkel dan marah.
Masalahnya sekarang bagaimana pandangan agama terhadap semua itu dan bagaimana sikap yang diajarkan?
Pertama sekali harus dikemukakan bahwa inti dasar ajaran Islam, di luar masalah akidah, adalah rahmah, kasih sayang, sesuai dengan kehadiran beliau Rasulullah SAW sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam. Oleh karena itu, pada prinsipnya tindak kekerasan dilarang dalam Islam kecuali karena beberapa sebab yang sangat terbatas. Yang jelas, pengrusakan tempat-tempat ibadah, walaupun milik musuh, tidak dibenarkan. Ringkasnya, tindakan kekerasan hanya boleh dilakukan sekedar untuk mempertahankan diri, bukan pembalasan, dan untuk memberi pelajaran atau hukuman yang keduanya hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berwenang. Tidak setiap orang boleh melakukan.
Lalu bagaimanakah dengan rasa jengkel dan marah?
Jengkel dan marah adalah manusiawi. Artinya, tidak lepas sama sekali dari manusia. Makanya, dalam kaitannya dengan jengkel dan marah ini, Rasulullah SAW membagi manusia menjadi empat golongan:
- Orang yang cepat marah juga cepat reda marahnya. Ini seimbang
- Orang yang tidak cepat marah tapi juga lambat mereda kemarahannya. Ini juga masih bisa dipahami.
- Orang yang tidak cepat marah, namun cepat reda kemarahannya. Ini yang paling baik
- Orang yang cepat marah dan lambat mereda kemarahannya. Ini paling buruk.
Tidak ada golongan yang tidak pernah jengkel dan marah. Makanya, yang paling penting adalah justru bagaimana sikap kita jika sedang marah.
Agama menganjurkan agar kita mengendalikan, bahkan menahan kemarahan, dalam bahasa agama disebut sebagai كظم الغيظ . Bisa menahan kemarahan termasuk salah satu tanda orang yang bertakwa, muttaqin. Dalam surah al-Imron 133-134 disebutkan:
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Jadi, orang-orang yang gampang melampiaskan amarahnya, utamanya dengan kekerasan, tidaklah termasuk muttaqin/ orang yang bertakwa.
Menurut Abi Said al-Khudry, seorang sahabat, Rasulullah SAW pernah bersabda:
” إِيَّاكُمْ وَالْغَضَبَ فَإِنَّهُ يُوقِدُ فِي فُؤَادِ ابْنِ آدَمَ النَّارَ ، أَلَمْ تَرَ إِلَى أَحَدِكُمْ إِذَا غَضِبَ كَيْفَ تَحْمَرُّ عَيْنَاهُ ، وَتَنْتَفِخُ أَوْدَاجُهُ
“Berhati-hatilah kamu terhadap amarah. Sebab amarah itu menyalakan api di hari orang. Tidakkah kamu lihat bila salah seorang kamu marah, bagaimana kedua matanya memerah dan urat-urat lehernya menegang?”
Dengar, bagaimana seorang ahli hadis Nashr bin Muhammad as-Samarqondy meriwayatkan pengakuan setan dengan apa dan bagaimana setan menyesatkan manusia. Terjemah ringkasnya sebagai berikut:
Setan berkata, “aku sesatkan manusia dengan tiga hal. Sifat kikir, amarah, dan mabuk. Karena apabila seseorang kikir, maka kami jadikan harta miliknya tetap sedikit dalam pandangannya. Perasaan inilah yang menghalanginya untuk menunaikan kewajibannya, bahkan ia selalu haus akan harta orang lain. Lalu, bila seseorang marah, maka kami lempar-lemparkan ia di antara kami sebagaimana bola dilempar-lemparkan di antara anak-anak. Walaupun orang yang pemarah ini bisa menghidupkan orang mati dengan doanya, kami tak berputus asa, kami tetap masih punya harapan untuk dapat menyesatkannya. Ibaratnya, dia terus membangun sedangkan kami menghancurkannya dengan satu perkataan saja. Sementara apabila seseorang mabuk, maka kami tuntun dia semau kami kepada segala perbuatan jahat, persis seperti kerbau dicocok hidungnya.” Itulah pengakuah setan. Jadi, orang yang marah adalah orang yang berada di bawah kendali setan. Sudah tentu ini bila kita tidak mampu mengendalikan amarah kita.
Banyak, banyak sekali contoh bagaimana orang-orang terdahulu mengendalikan dan menekan amarah. Yang paling terkenal adalah apa yang dilakukan Sayidina Ali bin Abi Thalib K.W. Dalam salah satu peperangan yang beliau ikuti, beliau dpat memojokkan salah seorang musuh. Dan, sebagaiman lazimnya dalam peperangan, beliau pun bermaksud membunuh orang itu. Tiba-tiba, orang itu meludahi muka beliau. Seketika itu pula beliau melepaskan musuh yang telah dikuasainya tersebut. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “karena dia meludahi mukaku, maka aku khawatir aku membunuhnya bukan karena Allah, tapi karena amarahku.” Demikianlah
Kroya, 4 Maret 1999
*kutipan khutbah yang pernah disampaikan pada saat shalat Jumat di masjid Miftahul Huda Kroya.