Jejak Islam di Granada

Oleh :

H. Fachrur Rozie

 

Klub sepak bola Real Madrid dan Barcelona telah membuat Spanyol menjadi sangat terkenal hari ini. Kedua klub sepak bola ini memang memiliki pemain-pemain hebat. Sebut saja misalnya nama Cristiano Ronaldo, pesepakbola asal Portugal yang pernah memperkuat Real Madrid sepanjang 2008-2018, juga nama Ronaldinho yang memperkuat tim Barcelona.

Selain karena sepak bola, Spanyol sebetulnya sudah terkenal sejak lebih dari seribu tahun silam, yakni sejak Islam menjadi kekuatan politik utama pada paruh kedua tahun 700an, ketika Dinasti Umayyah menguasai bagian Barat benua Eropa ini. Kekuasaan Islam berjaya di Spanyol bahkan sampai sebagian selatan Prancis selama hampir 800 tahun. Kota penting yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebesaran Islam di Spanyol adalah Granada, dengan istana Al-Hambra yang fenomenal itu. Saat itu Spanyol lebih dikenal sebagai Andalusia.

Intelektualisme Islam di Spanyol berkembang sangat dinamis yang pengaruhnya mewarnai hampir seluruh Eropa. Ibn Rusyd atau Averroes, Ibn Thufail, Al-Qurthubi, adalah di antara nama2 harum di bidang filsafat dan tafsir yang masih terus berkembang. Ada lagi nama Ibnu Malik, penulis 1000 bait gramatika bahasa Arab yang sangat akrab di pesantren2 di Indonésie. Dan masih banyak lagi warisan peradaban kemanusiaan Islam di Andalousia yang masih bisa kita nikmati ingga hari ini.

Jejak Islam di Eropa dapat dimulai dari Granada melalui istana Al-Hambra, lalu Cordoba, Séville, (semuanya di Spanyol) dan seterusnya hingga ke seluruh Eropa. Dari catatan sejarah, Islam masuk ke Eropa melalui selat Giblaltar dengan kekuatan militer dan politik. Dan pada akhirnya tersingkir juga secara militer dan politik.

Ini yang membedakan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Islam masuk ke Nusantara atas kelihaian para wali yang sangat memahami karakter lokal. Mereka adaptif dengan local wisdom dengan cara menyasar secara substantif, prinsip2 ajaran Islam masuk ke jantung budaya lokal, sehingga dapat bertahan hingga hari ini tanpa tterjadi gejolak politik yang berarti. Dari catatan sejarah, politik kalau masuk ranah agama sering kali membuat gaduh.

Dua hari di Granada terasa sangat singkat untuk memperoleh gambaran utuh tentang Islam di Spanyol. Naïf sekali. Padahal, selama dua hari itu kami hanya fokus di Al-Hambra palace. Itupun belum seutuhnya terexplore. Istana Al-Hambra terlalu luas.

Al-Hambra palace terletak di atas bukit. Kebetulan kami tinggal tak jauh dari lokasi. Cuma butuh waktu lima menit dengan berjalan kaki, melewati perbukitan dan hutan kota yang hijau. Untuk memasuki ke main palace, ada beberapa pintu yang harus dilewati. Pintu kayu berukuran tinggi dan tebal (sekira 10cm ketebalannya) mungkin berfungsi sebagai kontrol atas siapa saja yang masuk istana. Luar biasa megah arsitekturnya. Saya tak membayangkan kecanggihan teknologi yang digunakan. Dari pelataran istana, mata kita bisa memandang seluruh sisi kota Granada di bawah dengan view yang sangat indah dan artistik.

Sebelum masuk istana, kami sempat mengunjungi Mezquita mayor de Granada, Masjid Agung Granada untuk melakukan shalat Maghrib yang kami gabung dengan Isya. Namanya Masjid Agung, tetapi ukurannya tidak lebih besar ketimbang Masjid Miftahul Huda di Kroya.

Di Masjid, Kami bertemu dengan imam Masjid yang bacaan Qu’ran-nya sangat fasih. Beliau menyambut kami dengan sapaan akrab dan langsung mengenali kami sebagai orang Indonesia. Usai shalat, kami sempat ngobrol ngalor ngidul yang akhirnya di antara kami saling tahu namanya. Beliau mengaku bernama Shahid, dan mengatakan bahwa bacaan Qur’an saat shalat Maghrib menggunakan qira’ah Imam Warasy Hanafiyah. Ada dua referensi imam qira’ah yang terkenal. Imam Hafs dan Imam Warasy. Qira’ah imam Warasy ternyata juga macem2.

Saat berpamitan, saya mau cium tangan beliau, tetapi segera ditolaknya. Penolakan ini mengingatkan kami seminggu yang lalu, saat dua anak saya mau mencium tangan seorang sayyidah/syarifah cantik di Prancis, dan syarifah ini menolaknya. Beliau memilih cipika cipiki. Beliau kemudian mengingatkan, manusia itu setara, yang membedakan adalah taqwanya di sisi Allah. Wallahu a’lam bi al-shawab***

Al-Hambra palace, 09.04.2019

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: