Bunda-Bunda Penopang Peradaban

Ketika melepas putranya yang hendak pergi belajar, ibunda Imam Syafii memberi pesan yang menusuk pada putra kecilnya. “Jangan pulang sebelum kau berhasil!”

Ini adalah kisah masyhur dalam manaqib Imam Syafii. Sebagai seorang yatim, bundanya memang sangat berperan dalam kehidupan dan perjalanan intelektual Syafi’i muda.

Sejak dini, ibunda Imam Syafi’i memiliki keinginan kuat untuk menjadikan putranya sebagai ahli ilmu. Keinginan ini adalah salah satu hal yang mendorongnya menempuh perjalanan panjang dari tempat tinggalnya di Gaza ke Mekkah. Saat itu, Mekkah memang memiliki reputasi sebagai pusat ilmu pengetahuan. Di sana, banyak ulama besar tinggal. Dia berharap putranya tumbuh di pusat ilmu sehingga bisa belajar pada para ulama besar.

Sejarah menunjukkan bagaimana pada akhirnya Imam Syafii tumbuh menjadi seorang ulama yang sangat besar. Seorang pendiri Mazhab yang hingga saat ini, selang berabad dari masa wafatnya, masih diikuti jutaan orang di muka bumi.

Itu semua bermula dari seorang bunda yang memiliki tekad kuat dan gigih. Dapat dikatakan bahwa Imam Syafii dan ketokohannya merupakan buah dari kesungguhan dan kegigihan ibundanya.

Hal yang sama juga terjadi pada Imam Ahmad, murid Imam Syafii dan pendiri Mazhab Hanbali. Sejak kecil, beliau telah yatim. Ayahnya tidak meninggalkan banyak harta sehingga mereka berdua akrab dengan kesusahan. Meski demikian, bundanya tak pernah patah semangat untuk mendorong Imam Ahmad bersungguh-sungguh menuntut ilmu.

“Ibulah yang mengajariku Quran ketika aku kecil,” kenang Imam Ahmad. Di bawah pengawasan bundanya inilah Imam Ahmad belajar dan menghafalkan Quran sebelum belajar pada ulama lain.

“Setiap pagi, sebelum subuh, ibu membangunkan dan menyiapkan air untukku. Kemudian kami pergi ke masjid. Kami harus pergi sebelum subuh karena jarak masjid cukup jauh,” kenang Imam Ahmad.

“Ketika berusia 16 tahun, ibuku menyuruh untuk belajar hadis. Kata ibu, menempuh perjalanan untuk belajar hadis sama dengan hijrah kepada Allah,” tambah Imam Ahmad.

Tentu, bukan perkara mudah untuk melakukan perjalanan semacam itu. Mereka betdua bukanlah orang berada yang punya cukup bekal. Menurut Imam Ahmad, ketika itu bundanya hanya mampu membekalinya dengan sepuluh buah roti gandum. Untuk membesarkan hati putranya sang bunda berkata, “segala yang ditipkan pada Allah, tidak akan pernah hilang. Maka, kutitipkan dirimu pada Allah.”

Dengan kata-kata inilah Imam Ahmad berangkat memulai petualangan intelektualnya hingga menjadi sosok seperti yang kita kenal sekarang.

Dua tokoh ini hanyalah sedikit contoh. Masih banyak tokoh dan ulama besar lain seperti Imam Malik, Imam Bukhori, yang dirawat oleh para bunda yang memiliki tekad kuat, ketelatenan, kegigihan, dalam mengasuh para putranya sehingga menjadi sosok berpengaruh dalam peradaban.

Berkat para bunda luar biasa inilah peradaban Islam memiliki Imam Mazhab, ahli hadis, ulama cemerlang, dan tokoh besar lainnya. Kita berhutang pada kegigihan dan tekad para bunda tersebut.

Memanglah tidak berlebihan jika orang bijak berkata, “mendidik seorang laki-laki sama dengan mendidik satu orang. Mendidik seorang wanita sama dengan mendidik satu generasi.” (Sibthu Adzkiya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: