Fadilah Basmalah

Terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa sebaik-baik manusia pasti punya masa lalu sedangkan seburuk-buruknya manusia pastilah punya masa depan. Kata-kata ini seolah hendak mengajarkan bahwa sebaik apapun kita, janganlah merasa tinggi hati karena barangkali masa lalu kita tidak sebaik saat ini. Demikian juga, seburuk-seburuknya kita janganlah berputus asa untuk menggapai rahmat Allah. Ini juga mengajarkan pada kita agar tidak terburu-buru mencela seseorang yang buruk perbuatannya karena bisa jadi di masa depan dia mendapatkan petunjuk dan justru menjadi orang yang lebih baik dari kita.

Manusia tidak pernah mengetahui kapan datangnya pertolongan Allah yang bisa mengubah hidupnya. Bahkan terkadang pertolongan tersebut datang bukan disebabkan oleh tindakan-tindakan besar, melainkan sekedar tindakan yang jika ditimbang bukanlah hal luar biasa.

Demikianlah yang terjadi pada seorang sufi bernama Bisyr bin Harits al-Hafi. Kebesaran tokoh ini tidaklah diingkari lagi. Beliau sangat dikagumi banyak kalangan, baik ulama, umara, maupun rakyat jelata. Bahkan ulama sekelas Imam Ahmad bin Hanbal pun mengagumi kepakaran tokoh ini dalam bidang hadits.

Namun, siapa sangka bahwa tokoh yang juga dikenal dengan julukan Abu Nashr ini memiliki masa lalu yang kelam. Perbuatan seperti mabuk-mabukan, berbuat onar, serta berfoya-foya pernah mengisi hari-hari Abu Nashr. Ringkasnya, alih-alih dikenal sebagai orang shalih, pada suatu titik dalam hidupnya dia justru lebih dikenal sebagai seorang preman berandalan.

Namun, kisah kehidupannya berubah 180 derajat akibat sebuah peristiwa yang jika dilihat dengan mata wantah terlihat “sepele.” Suatu saat, ketika beliau berjalan terhuyung-huyung selepas menenggak minuman keras dalam sebuah pesta foya-foya yang menjadi rutin kesehariannya, beliau menemukan secarik kertas bertuliskan lafadz basmalah. Entah karena dorongan apa, beliau memungut potongan kertas tersebut. Dan, entah karena digerakkan oleh ilham dari mana, beliau kemudian membeli minyak wangi seharga dua dirham, uang sisa pesta yang dimilikinya. Beliau percikan minyak wanginya ke kertas yang ditemukan tersebut dan kemudian menyimpannya.

Lelah dan mabuk karena berpesta, Bisyr al-Hafi langsung tertidur ketika tiba di rumah. Di tengah-tengah tidurnya yang lelap, tiba-tiba beliau bermimpi mendengar suara yang entah berasal dari mana, “Engkau telah mengharumkan nama-Ku maka Aku pun telah mengharumkan dirimu. Engkau telah memuliakan nama-Ku maka Aku pun telah memuliakan dirimu. Engkau telah menyucikan nama-Ku, maka Aku pun telah menyucikan dirimu. Demi kebesaran nama-Ku, niscaya kuharumkan namamu, baik di dunia atau di akhirat.”

Bisyr tertegun. Benaknya dipenuhi pertanyaan, “mimpi apakah gerangan ini?” Mungkinkah Bisyr yang berandalan dan penuh dosa akan mendapatkan kemuliaan seperti dinyatakan oleh suara tersebut? Tanpa memedulikan pertanyaan yang muncul di benaknya, Bisyr segera mengambil air wudlu dan shalat. Kemudian ia tertidur kembali dan mimpi itu berulang hingga tiga kali. Namun Bisyr mengabaikannya dan kembali menjalani aktivitas seperti biasa yang penuh dengan dosa.

Suatu saat, Bisyr menggelar pesta minum-minum di rumahnya. Pesta itu begitu ramai dihadiri kawan-kawannya. Penuh dengan minuman keras, tawa yang juga keras, serta iringan musik dan suara penyanyi perempuan yang menghanyutkan. Di tengah-tengah keriuhan tersebut, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Bisyr meminta pembantunya untuk menemui tamu tersebut. Ternyata, yang datang adalah seorang ulama yang saleh. Beliau berkata pada pembantunya, “siapa pemilik rumah ini? Seorang hamba sahaya atau orang merdeka?” bertanya orang saleh tersebut. Pembantu Bisyr menjawab bahwa pemilik rumah ini adalah orang merdeka. Kemudian orang saleh tersebut berkata, “pantas saja. Jika dia seorang hamba pastilah dia akan berlaku dengan akhlak seorang hamba,” sambil berlalu meninggalkan rumah Bisyr.

Rupanya, Bisyr mendengar percakapan tersebut. Dia bertanya pada pembantunya siapakah yang barusan bertandang. Sang pembantu menggeleng tidak tahu. Penasaran, Bisyr segera mengejar tamu tersebut dan mencoba melacak jejaknya. Begitu bertemu, dia bertanya apakah benar sosok tersebut adalah sosok yang baru saja mendatangi rumahnya? Ternyata benar. Bisyr kemudian memintanya untuk mengulangi kata-katanya. Demi mendengar kata-kata tersebut, Bisyr menunduk dan menyentuhkan kedua pipinya ke tanah sembari berujar, “bukan, bukan, aku adalah seorang hamba,” air mata pun berlelehan dari kedua mata Bisyr yang saat itu tak beralas kaki.

Setelah peristiwa tersebut, Bisyr kembali ke rumahnya. Di tengah-tengah keriuhan pesta, dia berteriak, “Aku telah dipanggil! Oleh karena itu aku harus meninggalkan tempat ini. Selamat tinggal! Kalian tidak akan pernah menemukan diriku dalam kedaan yang seperti ini lagi.”

Bisyr pergi dengan meninggalkan sejuta tanya di benak kawan-kawannya. Namun tekadnya telah bulat. Ia berubah menjadi pribadi yang saleh. Tak satupun menit terlewat kecuali untuk beribadah kepadaNya. Saking khusyuknya, ia bahkan kerap beribadah tanpa alas kaki hingga ia mendapat julukan “al-Hafi” atau manusia tanpa alas kaki. Ketika ditanya apa yang menjadikannya tidak pernah memakai alas kaki, Bisyr menjawab, “aku bertemu Tuhanku saat tidak mengenakan alas kaki. Aku akan melakukannya hingga ajal menjemput.”

Bisyr berkelana untuk mendalami ilmu agama. Di Baghdad, ia menekuni hadis dan tasawuf. Kesungguhan dan keikhlasannya dalam melakukan pembersihan diri dan penyucian hati telah menempatkannya dalam posisi terhormat di sisi Tuhannya.

Seperti yang dikatakan kepada kawan-kawannya, Bisyr pun telah berubah menjadi sosok yang sama sekali lain. Jika dulu ia dikenal sebagai seorang preman berandalan, saat ini namanya memancarkan keharuman bahkan jauh menembus sekat-sekat waktu, jauh melampaui masa hidupnya dan bahkan mungkin akan terus dikenang hingga nanti. Keharuman yang ia peroleh dengan memercikkan wewangian pada secarik kertas bertulis lafadz basmalah.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: