Laksamana Wanita Pertama di Dunia

Di antara daerah di Indonesia yang banyak melahirkan pahlawan wanita adalah Aceh. Sosok pahlawan wanita paling dikenal dari Aceh barangkali adalah Cut Nyak Dien yang kisah perjuangannya pernah difilmkan dengan sangat bagus dan menjadi tontonan wajib generasi 1990-an.

Namun selain Cut Nyak Dien, Aceh juga memiliki sosok pahlawan wanita lain bernama Laksamana Keumalahayati beliau adalah laksamana wanita pertama di dunia, bahkan memiliki prestasi besar dalam perannya tersebut.

Kisah tokoh yang memperoleh gelar pahlawan nasional pada 9 November 2017 ini bermula pada tahun 1585, tahun ketika beliau lahir. Keumalahayati dilahirkan dari keluarga bangsawan Aceh. Sementara, darah bahari menurun dari ayahnya yang bernama Laksamana Mahmud Syah dan kakeknya, Laksamana Muhammad Said Syah.

Seperti kebanyakan orang Aceh, Keumalahayati menjalani pendidikan pertamanya di meunasah atau kira-kira bisa diartikan sebagai madrasah. Namun rupaya ada yang istimewa dari sosok Keumalahayati remaja. Sejak awal, meski wanita, dia telah berniat untuk mengikuti jejak sang ayah berkarier di dunia militer.

Cita-citanya ini coba diwujudkan dengan cara mendaftarkan diri menjadi calon taruna Akademi Militer Kesultanan Aceh Darussalam yang bernama Mahad Baitul Makdis. Perlu diketahui bahwa pada saat itu Kesultanan Aceh Darussalam memang telah memiliki akademi militer yang cukup maju dengan pengajar sebagian berasal dari Turki dan memiliki kecabangan hampir sama dengan akademi militer modern: darat, laut, dan udara.

Bakat kemiliteran rupanya mengalir deras dalam darahnya sehingga Keumalahayati tidak hanya berhasil lolos seleksi, namun juga menjadi taruna cakap yang memiliki prestasi sangat menonjol sehingga dia sangat dikenal. Walhasil, Keumalahayati berhasil lulus dengan prestasi yang memuaskan sehingga mendapat kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589- 1604) dan diangkat menjadi Komandan Protokol lstana Darud-Dunia dari Kesultanan Aceh Darussalam.

Membentuk Pasukan Inong Balee (Pasukan Janda)

Keumalahayati kemudian menikah dengan seorang seniornya di Mahad Baitul Makdis. Namun, nasib tidak ada yang tahu. Suaminya gugur dalam pertempuran Teluk Haru melawan armada Portugis. Dalam pertempuran tersebut, Aceh kehilangan dua orang laksamana, yang salah satunya adalah suami Keumalahayati, dan sekitar 1000-an orang prajurit.

Setiap orang memiliki cara masing-masing dalam menjalani kesedihan, demikian juga Keumalahayati. Setelah suaminya meninggal, dia mengumpulkan janda-janda para prajurit yang gugur bersama suaminya. Namun, bukan untuk memperpanjang ratapan, melainkan membentuk pasukan wanita yang beranggotakan para janda korban perang tersebut. Ia meminta izin Sultan dan dengan senang hati Sultan al-Mukammil meluluskan permintaan tersebut. Kemudian, kesatuan pasukan yang baru terbentuk itu diberi nama Inong Balee (Pasukan Janda).

Keumalahayati segera memperlengkapi pasukan bentukannya tersebut. Pertama-tama, ia memilih wilayah Teluk Krueng Raya sebagai markas. Dengan cermat, ia membangun wilayah tersebut menjadi markas pertahanan yang kuat. Ia menyulap wilayah tersebut menjadi sebuah benteng yang disebut Kuta Inong Balee (peninggalannya masih bisa disaksikan hingga sekarang).

Pada awalnya, pasukan Inong Balee memang hanya diisi oleh para janda prajurit yang gugur dalam pertempuran Teluk Haru (sekitar 1000 orang), namun dalam perkembangannya jumlah pasukan membengkak menjadi 2000 personil. Personil tambahan ini tidak hanya terdiri atas para janda, karisma Keumalahayati rupaya berhasil menarik para gadis remaja untuk bergabung dalam pasukan tersebut.

Kisah Kematian Cornelis de Houtman

Kesultanan Aceh Darussalam terletak di wilayah yang strategis sehingga sering bersinggungan dengan bangsa-bangsa lain. Terkadang, persinggungan tersebut berlangsung secara baik, namun terkadang berjalan dengan buruk seperti yang terjadi dengan persinggungan dengan Portugis. Namun rupanya tidak hanya Portugis yang memiliki riwayat persinggungan buruk, Kerajaan Belanda juga menjadi salah satu pihak yang memiliki persinggungan buruk.

Alkisah, pada 1599 mendaratlah ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Sebagai tuan rumah yang baik, Sultan Aceh menyambut ekspedisi tersebut dengan ramah. Upacara kebesaran dan perjamuan digelar untuk menyambut ekspedisi tersebut. Tidak ada kecurigaan selain harapan untuk menjalin hubungan perdagangan yang saling menguntungkan.

Namun, fakta berkata lain. Rupa-rupaya sang tamu datang membawa itikad yang kurang baik. Mulanya, Cornelis de Houtman hanya mengacau, kemudian meningkat dengan melakukan manipulasi perdagangan, hingga menghasut rakyat Aceh untuk melawan Kesultanan. Demi melihat hal tersebut, Sultan tak tinggal diam. Sultan memerintahkan Keumalahayati untuk mengenyahkan para pengacau tersebut dari wilayahnya.

Keumalahayati segera menjalankan perintah tersebut. Dengan gagah berani, ia memimpin pasukan Inong Balee untuk menyerbu kapal de Houtman. Pasukan Inong Balee melawan pasukan de Houtman tanpa gentar sedikitpun. Dan, dalam sebuah duel satu lawan satu Keumalahayati berhasil menumbangkan Cornelis de Houtman dengan rencongnya. Keadaan pun kembali menjadi tenang.

Menjadi Diplomat

Setahun setelah peristiwa kematian Cornelis de Houtman, kapal dagang Belanda kembali ke Aceh. Kali ini armada tersebut dipimpin oleh Paulus van Caerden. Tampaknya, kedatangan Belanda kali ini hanya bermaksud mencari keributan. Armada tersebut merompak sebuah kapal dagang Aceh dan menenggelamkannya. Keumalahayati dan pasukannya mencoba mengejar para pengacau tersebut, namun gagal menangkap mereka.

Pada 31 Juni 1601, rombongan Belanda datang kembali. Kali ini dipimpin oleh Laksamana Jacob van Neck. Keumalahayati yang masih geram dengan dua kejadian yang ditimbulkan oleh rombongan Belanda sebelumnya, segera memerintahkan pasukannya untuk menahan kapal-kapal Belanda tersebut. Setelah proses pemeriksaan yang ketat, didapati bukti bahwa rombongan kali ini bertujuan damai dan malah membawa surat permohonan maaf dari Prins Maurits kepada Sultan Mukammil.

Sultan menyambut itikad baik tersebut dan memerintahkan kepada Keumalahayati untuk menjadi diplomat resmi Aceh dalam perundingan dengan Belanda yang digelar pada 23 Agustus 1601.  Rupanya, Keumalahayati tidak hanya piawai dalam bidang kemiliteran. Kepiawaian Keumalahayati dalam bidang diplomasi ditunjukkan dengan keberhasilannya mendesak pihak Belanda untuk membayar ganti rugi sebesar 50 ribu Gulden atas kapal Aceh yang dirompak oleh Van Caerden.

Kepiawian diplomasi Keumalahayati kembali ditunjukkan ketika dia ditugaskan oleh Sultan Aceh untuk mewakili perundingan dengan pihak Inggris. Perundingan tersebut membawa hasil yang baik untuk keuntungan dan terjalinnya persahabatan di antara kedua belah pihak.

Akhir Hayat

Kemunduran suatu kekuasaan terkadang justru bukan disebabkan oleh musuh-musuhnya, namun oleh kerapuhan sendiri. Inilah yang terjadi pada Kesultanan Aceh. Setelah dalam waktu yang lama berhasil membendung serangan dan gangguan dari luar, Kesultanan Aceh justru mengalami kerapuhan dari dalam.

Kisah bermula ketika putra tertua Sultan tidak sabar untuk segera menduduki kursi kesultanan. Tanpa mempedulikan aturan, sang putra pun menyingkirkan ayahnya dan menobatkan diri menjadi sultan baru dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607).

Rupanya, perjalanan sang sultan baru tersebut tidaklah semulus yang dibayangkan. Segera setelah menobatkan diri menjadi sultan, dia harus berhadapan dengan saudara-saudaranya sehingga menimbulkan perang saudara. Sementara itu, musim kemarau yang panjang juga menimpa Aceh sehingga menimbulkan kekeringan di mana-mana. Keruwetan semakin lengkap ketika di seberang laut sana, Portugis menebar ancaman.

Sultan baru tampaknya belum berpengalaman menghadapi kesulitan bertubi-tubi semacam itu sehingga gagal melewatinya dengan mulus. Kegagalan mengatasi bencana dan ditambah mandeknya roda pemerintahan membuat citra Sultan di mata rakyat semakin menurun. Salah seorang yang bersuara keras terhadap Sultan adalah Darmawangsa Tun Pangkat, seorang kemenakan Sultan sendiri. Sultan yang tidak senang dengan protes Darmawangsa menjebloskannya ke dalam penjara.

Tahun 1606, Portugis mewujudkan ancamannya. Dipimpin oleh Alfonso de Castro, pasukan Portugis menyerbu Aceh. Darmawangsa yang nasionalis, memohon kepada Sultan untuk turut berperang mengusir Portugis karena ia tidak rela tanah airnya diobrak-abrik oleh penjajah. Awalnya, Sultan ragu untuk meluluskan permintaan ini. Namun setelah Laksamana Keumalahayati meminta pada Sultan untuk meluluskan permohonan tersebut, Sultan akhirnya mengabulkan.

Setelah bebas, Darmawangsa dan Keumalahayati bersatu-padu menghadapi Portugis. Pertempuran sengit pecah di perairan Aceh. Namun, berkat kecakapan dan kegigihan Laksamana Keumalahayati, yang dibantu oleh Darmawangsa, pasukan Aceh berhasil mengusir Portugis. Sebuah kemenangan gemilang lagi untuk Aceh.

Setelah perang, nama Sultan semakin merosot dan nama Darmawangsa semakin dikenal. Rakyat yang tidak menyukai Sultan kini menemukan sosok yang dianggap lebih cakap. Akhirnya, dengan dibantu Laksamana Keumalahayati, Darmawangsa berhasil menurunkan Sultan dari takhta.

Tahun 1607, Darmawangsa resmi menjadi Sultan dengan berjuluk Sultan Iskandar Muda. Berkat kecapakannya dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Iskandar Muda berhasil membawa Aceh menuju masa keemasaan.

Namun, masa-masa ini nampaknya juga menjadi masa “redupnya” sosok Laksamana Keumalahayati. Tidak banyak sumber yang mengisahkan kiprah sosok wanita tangguh ini. Bahkan kisah kematiannya pun tidak banyak diketahui orang.

Ada ujaran menyatakan bahwa kebesaran nama seseorang bisa diukur dengan sampai berapa lama namanya “hidup” dalam kenangan banyak orang. Inilah yang terjadi pada sosok Laksamana Keumalahayati. Hingga saat ini, terhitung telah empat abad lebih orang mengenang kisahnya. Selama itu, kenangan akan namanya bukannya surut justru terus terus bertambah. Penyelidikan-penyelidikan ilmiah pun terus dilakukan untuk menggali jejak sang Laksamana. Pada akhirnya kita berharap penyelidikan-penyelidikan tersebut bisa memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai sosok Laksamana hebat ini sehingga generasi saat ini dan yang akan datang bisa mengambil teladan darinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: