Khutbah Jumat dan Bid’ah

Khutbah Jumat kadang menjadi ajang atau kesempatan terbaik bagi khatib untuk menyampaikan pesan kepada jamaah di kala tidak ada ruang selainnya. Prinsip-prinsip atau rukun khutbah yang simpel memungkinkan bagi khatib untuk mengembangkan topik khutbah sesuai yang diinginkannya.

Pun demikian pula yang terjadi di masjid grande mosquée de Villeneuve d’Ascq, Lille, masjid di mana saya biasa melakukan shalat Jumat. Jika mengikuti rukunnya saja, khutbah bisa dilakukan hanya dalam waktu tidak lebih dari 10 menit. Tetapi khutbah di masjid ini berlangsung selama kurang lebih 45 menit. Dimulai pukul 12.45 dan berakhir biasanya pukul 13.30. Jika ditambah dengan upacara shalat dan hal-hal lainnya, maka seluruh prosesi shalat Jumat selesai pada pukul 13.50an.

Khatib, Cheikh Ahmed Miktar yang merangkap sebagai imam masjid ini sekaligus juga menjabat président imam masjid se-Prancis memanfaatkan waktu khutbah dengan menyampaikan topik-topik kekinian yang bisa membangun moralitas dan kemajuan umat dengan tetap menjaga hubungan baik dengan sesama. Dan, dalam setiap pengantar khutbahnya beliau selalu mengutip hadits Nabi yang artinya kira-kira bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad saw, dan seburuk-buruk perkara adalah mengada-ada, setiap hal yang mengada-ada adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat adalah (tempatnya) di neraka. Usai mengutip hadits ini beliau berdoa agar kita terhindar dari perbuatan bid’ah. Jamaah pun serempak mengucap amiin…

Cukup lama saya memendam pertanyaan perihal hadits yang selalu disampaikan setiap kali khutbah Jumat itu, karena saya mencermati perilaku jamaah dan program-program yang dikembangkan oleh manajemen masjid ini kontras dengan hadits di atas. Misalnya peringatan maulid lengkap dengan aneka shalawat dan Isra’ Mi’raj Nabi Agung Muhammad saw yang selalu diadakan, paling tidak sepanjang saya tinggal di sini. Tetapi kenapa Imam selalu menyampaikan hadits itu, apa sesungguhnya makna bid’ah yang dimaksud ?

Suatu ketika, tepatnya Jumat, 23 Maret 2018 di Lille Centre ada acara bertajuk “Dîner Caritatif” (makan malam untuk amal), yang digelar oleh Human Appeal, sebuah NGO yang concern bergerak di bidang kemanusiaan dan isu-isu kemiskinan. Nah, beliau diundang untuk mengisi semacam pengajian di acara tersebut. Saya yang juga pingin mengikuti acara makan malam itu kebetulan bertemu beliau di masjid. Kami ngobrol sebentar dan sepakat berangkat bareng setelah shalat ‘Isya. Sesuai waktu yang disepakati, usai shalat ‘Isya, kami berangkat. Saya menumpang mobilnya, beliau yang menyetir. Mumpung hanya berdua, di tengah perjalanan saya memberanikan diri bertanya, dalam setiap khutbah bapak selalu mengutip hadits tentang bid’ah, apa sesungguhnya makna bid’ah ?

Bid’ah itu mengada-ada suatu amalan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. Beliau memberi penjelasan. Maksudnya ? Saya pingin lebih clear apa yang dimaksudkan sesungguhnya. Beliau kemudian menjelaskan, ya semua amalan yang Nabi tidak pernah melakukannya, tetapi kita melakukannya, itu bid’ah. Saya lalu bertanya lagi, yang dimaksud dlalalah dalam bid’ah itu apa. Beliau menjelaskan lebih rinci lagi, bid’ah itu ada lima hukumnya, halal (wajib), mandub (sunah), haram, makruh, dan mubah. Dlalalah itu bid’ah yang haram, yaitu mengada-ada sesuatu yang secara prinsip sudah ditentukan hukumnya, yakni menyangkut ibadah-ibadah yang bersifat mahdlah, misalnya nambahin rakaat shalat subuh menjadi tiga rakaat, dan lain-lain yang sudah jelas hukumnya. Selain itu, bid’ah bisa halal, mandub, makruh, mubah.

Beliau lalu bercerita tentang perbuatan Umar ra dalam pembukuan Alquran, itu pun bid’ah, tapi wajib, karena kalau tidak dilakukan, hilang sudah Alquran, kita tidak bisa membacanya. Pembukuan hadits juga sama. Beliau mengutip pernyataan Umar ra soal shalat tarawih 20 rakaat yang disebutnya sebagai bid’ah hasanah. Sampai di sini saya ayem rasanya.

Dengan jawaban seperti itu, saya jadi berani bertanya hal-hal yang lain, ma farqu baina al-wahabi wa al-salafi. Imam yang hafidz Quran dan menguasai beberapa sira’ah ini membeberkan panjang lebar, mulai dari identitas, karakter masing-masing, dan problem di dalamnya. Beliau bercerita pernah berdebat dengan seorang tokoh wahabi. Wah, menjadi semakin antusias saya mendengarkan ceritanya.

Sayang, cerita harus berakhir karena mobil sudah sampai di tujuan, di acara makan malam untuk amal. Namun penjelasan sang imam ini sangat mencerahkan. Terlebih lagi di acara Dîner Caritatif ini, sang Imam dalam ceramahnya menyatakan bahwa semua agama mengajarkan kemanusiaan. Dan Islam khususnya, sangat menekankan hal itu. Oleh karena itu,  kita harus bisa berbagi dengan sesama, dengan orang-orang yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial, dan politik.

Usai ceramah, acara diisi oleh seorang penyanyi Prancis, Ryad Hammany yang melantunkan lagu-lagu shalawat bergenre Prancis-Arab bersama anak-anak usia sekolah dasar, diiringi organ tunggal. Ada penggalan syair yang masih nyantol di kuping : “…ne oublié pas, dit Alhamdulillah fi kulli hal wa al-makan, Islam rahmatan lil ‘alamin…” (jangan lupa, ucapkan Alhamdulillah di manapun dan dalam situasi apapun, Islam rahmat untuk seluruh alam).

Lengkap sudah rasanya malam itu, saya memperoleh dua hal sekaligus, nutrisi rohani dari sang Imam dan nutrisi jasmani, makan malam, dagingnya gede banget. Padahal sebelumnya sudah ada makanan pembuka, teh, kopi, dll. Usai makan saya kira sudah selesai, eh, masih ada snack lagi, dan makanan penutup. Alhamdulillah.

Usai acara, saya pulang bareng imam lagi, dianter sampai ke kost. Sepanjang perjalanan pulang kami hanya berbagi cerita tentang keluarga dan cerita ringan lainnya. Masya Allah, sangat rendah hati orangnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: