Ramadlan di Prancis

Fachrur Rozie

Memasuki hari ke sembilan bulan Ramadlan, imam tarawih di Grande Mosque de Villeneuve D’Ascq, Lille,  mengawali rakaat pertama shalat tarawih setelah fatihah dengan membaca: qaala al-mala-ul al-ladzii-na istakbaruu…, pertengahan surat al-A’raf, awal juz 9. Iya, imam memang selalu mengawali rakaat pertama shalat tarawih dengan juz baru. Pada awal Ramadlan diawali dengan Alif lam miiim, awal surat al-Baqarah. Pada hari kedua, Sayaquulu al-sufahaa…, lalu, Tilka al-rusulu… Hari keempat, kelima, keenam, ketujuh, ke delapan, begitu juga sampai hari ke sembilan tadi malam, selalu dimulai dari awal juz.

Imamnya mengikuti bacaan Al-Quran Imam Warosy, tetapi karena fasihnya, terasa enak saja di telinga, meski ada beberapa bacaan yang asing bagi saya, berbeda dengan yang biasa kita dengarkan yang akrab dengan bacaan Imam Hafs, baik dari segi panjang pendek (mad), harakat (mis; kata “qiyaaman menjadi “qayyiman”, “ayahsabu” menjadi “ayahsibu”, dll), maupun bunyi yang keluar (mis; bunyi ‘ra’ fathah dan ‘lam’ fathah, juga hamzah).

Sebetulnya imam tarawih ini bukan imam asli. Dia adalah kader yang sengaja dipasang oleh imam yang sesungguhnya sebagai ajang latihan dan menguji hafalan Quran-nya. Imam ini umurnya kira-kira 20 tahun atau kurang. Ada dua imam kader yang dipasang. Mereka bergantian menjadi imam tarawih dan melanjutkan bacaan suratan imam sebelumnya. Sementara imam asli ada di belakang sebagai makmum, memantau bacaannya. Dia belum pernah absen. Imam asli memimpin shalat Isya dan witir.

Model memasang kader sebagai imam ini yang saya kira menarik. Ini model estafet kepemimpinan imam dengan standar yang jelas dan terukur. Tentu sebelum dipasang sebagai imam, ada proses-proses yang mendahuluinya. Di masjid ini ada madrasah diniyah, namanya Institut al-Quds yang salah satu programnya adalah menghafal Al-Quran. Di Insitut al-Quds ini mereka belajar agama dan menghafal Al-Quran. Di luar Ramadlan, setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu siang sebelum memasuki waktu dhuhur, masjid ini ramai dengan anak-anak santri yang belajar. Sementara di sore hari mulai pukul 19.00 sampai dengan pukul 20.30 masjid ini juga ramai dengan kegiatan belajar mengajar diniyah untuk santri yang lebih dewasa. Dan Imam masjid, Ahmed Miktar, yang juga menjabat presiden Imam masjid se-Prancis ini bertindak sebagai direkturnya.

Kembali ke persoalan kegiatan Ramadlan di masjid Villeneuve D’Ascq. Kegiatan shalat tarawihnya mengambil model tarawih yang diskon 60% alias cukup 8 rakaat saja, tapi durasi waktunya kira-kira selama satu jam. Jadi, lebih lama dari pada shalat tarawih di masjid kebanggaan kita, masjid Agung Miftahul Huda Kroya Semingkir. Yang cukup mengesankan, shalat tarawih dimulai pukul 23.40 dan baru selesai pada pukul 00.40, karena maghrib baru tiba pada pukul 21.40-an dan waktu Isya pukul 23.30-an. Kendati demikian, sampai dengan hari ke sembilan, jamaah yang berjumlah ratusan itu masih tetap bertahan.

Ingatan saya kembali ke mushalla di Kompleks ‘L’ PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta pada dekade 90-an, di mana setiap Ramadlan, pak Mad (begitu santri-santri biasa memanggil Bapak K. H. Ahmad Munawwir, pengasuh kompleks ‘L’, Allahuyarham) dalam mengimami shalat tarawihnya juga selalu merampungkan satu juz setiap malam. Sebagai makmum, saya dulu memulai takbiratul ikhram ketika kira-kira imam sudah mau ruku’. Para santri ‘nakal’ menandainya dengan bacaan yang dipanjangkan di akhir ayat. Begitu ayat sudah mulai dipanjangkan, para santri ini bergegas melakukan takbiratul ikhram. Menjadi masbuq selama tarawih. Jadi tidak terlalu capek berdiri menunggu bacaan imam. Yach, ini salah satu bentuk kenakalan santri.

Sebagaimana di Jogja dulu, di Prancis pun saya memilih berbuka puasa di masjid yang memang menyediakan aneka jenis makanan khas maghrebien. Hanya saja, kalau dulu niatnya semata-mata karena faktor ekonomi, sekarang ada tambahan niat yang rasanya lebih mentereng, yakni memanfaatkan sedekah orang agar sama-sama memperoleh pahala. Saya kira membiarkan sedekah itu muspro, tanpa ada yang menerima adalah perbuatan dosa.

Di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, pada tahun ini durasi puasa Ramadlan berkisar antara 17-22 jam. Di Prancis kira-kira 18 jam, sementara di Eropa timur dan utara seperti Rusia, Norwegia, dan lain-lain durasi puasanya bisa lebih lama lagi, 22 jam.

Puasa sepanjang itu tetap dijalani oleh orang-orang yang taat tanpa mengurangi performa dan kinerja. Mereka tetap bugar. Paling tidak, saya melihat, di tengah kehidupan yang bisa dikatakan serba permisif, banyak goadaan dan cobaan, mereka yang menjalani puasa tetap bersemangat melakukan aktivitas sehari-hari. Mereka memandang puasa sebagai sebuah kewajiban, sebagai konsekuensi seorang muslim. Logikanya, seseorang yang menyatakan diri masuk ke dalam sebuah sistem, maka konsekuensi logisnya adalah harus mengikuti sistem tersebut. Ini berlaku di mana-mana.  Di mana seseorang memasuki sebuah sistem, organisasi, sekolah, yayasan, dll, maka orang tersbut harus tunduk dan patuh pada sistem yang berlaku di organisasi, sekolah, yayasan tersebut. Ini logis.

Tentu saja, saya yakin, masih lebih banyak orang yang memandang puasa lebih dari sekedar sebuah kewajiban. Mereka ini yang maqam-nya di atas rata-rata. Maqam mereka bukan lagi logis, tetapi meta-logis, di mana logika tidak lagi bisa menjangkau. Tidak logis memang, tetapi bukan berarti salah. Ibaratnya mungkin, puasa adalah sebuah jalan, sarana, bukan tujuan. Ultimate goal-nya adalah penghambaan diri kepada Allah. Bahasa mereka bukan lagi bahasa logis, mereka menggunakan bahasa estetis dan kerinduan. Mereka tidak lagi mencari kebenaran, tetapi bagaimana kebenaran-kebenaran itu berkelindan menyusup ke dalam jiwa, berkorespondensi dengan Tuhan, dalam rengkuhan hubb dan ekstase.

Ramadlan di Prancis sesungguhnya tidak mewakili Islam di Prancis secara keseluruhan. Ini hanya secuil cerita Ramadlan yang terjadi di pojokan Prancis, di Villeneuve D’Ascq, Lille, di Prancis utara. Tertutupi oleh gemerlapnya menara Eiffel, Musée du Louvre, la capital de fashion, Notre Dame, Louis XIV, dan seabreg predikat Prancis yang melegenda. Tetapi yang secuil ini Insya Allah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam keberlangsungan peradaban kemanusiaan. Wallahu a’lam bi al-shawab***

Lille, 9 Ramadlan 1439H

Fachrur Rozie, pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana Yayasan Miftahul Huda Kroya. Sekarang sedang menempuh S3 di Lille, Prancis.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: