Ayah-Ibu, Ini Yang Harus Dilakukan Ketika Anak Menjelang Remaja

Setiap manusia akan selalu mengalami fase perkembangan, baik secara fisik maupun psikologis. Dari fase-fase perkembangan manusia, barangkali yang paling kentara adalah fase perkembangan dari anak menjadi remaja. Perubahan fisik dan psikologis dalam tahapan ini tampak paling menonjol dibanding pada tahapan lain. Tahap perkembangan remaja ini ditandai dengan berubahnya ciri-ciri fisik seseorang. Sementara secara psikologis, tahapan remaja ditandai dengan perkembangan sikap dan mental.

Seperti halnya perkembangan fisik dan psikis, tahapan perkembangan menjelang remaja ini juga merupakan pergeseran besar jika dipandang dari sisi agama. Inilah saat ketika seseorang dianggap telah layak dibebani dengan kewajiban-kewajiban agama sama seperti orang dewasa. Inilah saat ketika seseorang telah bertanggungjawab sepenuhnya atas apa yang dilakukan.

Dengan adanya pergeseran tersebut, diperlukan pengetahuan agama yang cukup. Oleh karena itu, penting bagi orang tua mendampingi dan membimbing anak mengenai apa-apa yang harus dilakukan ketika telah mencapai usia menjelang remaja, terutama dalam kaitannya dengan agama. Bimbingan dan pendampingan ini penting agar seseorang bisa menjalani fase tersebut dengan benar. Apa saja yang perlu dilakukan?

Mempersiapkan Transisi Menjadi Mukallaf

Sebenarnya, jika kita melihat literatur-literatur keagamaan, dalam hal tahapan pelaksanaan kewajiban agama, tidak ada yang namanya masa remaja. Batasan yang ada adalah mukallaf dan ghoiru mukallaf. Ghoiru mukallaf berarti orang yang tidak, atau masih belum, terkena kewajiban syariat. Dia tidak wajib melakukan apa yang diwajibkan oleh agama dan masih belum bertanggung jawab terhadap perbuatannya.

Dalam hal ini, yang termasuk ghoiru mukallaf adalah orang yang akalnya belum sempurna. Anak kecil masuk dalam kategori ini. Anak kecil belum terkena beban mengerjakan kewajiban agama. Namun, agar anak kecil nantinya terbiasa melakukan ibadah ketika menjadi mukallaf, maka orang tua bertanggungjawab mengajari dan membiasakannya. Nabi ﷺ memerintahkan agar anak diperintahkan shalat ketika menginjak usia 7 tahun dan diberi peringatan keras (dengan cara memukul yang tidak menyakitkan) jika anak tidak shalat ketika anak berusia 10 tahun.

Kapankah seseorang mengalami perubahan status dari ghoiru mukallaf menjadi mukallaf? Jawabannya adalah ketika telah akil balig. Kapan seseorang akil balig?

Kitab-kitab fikih menyebutkan bahwa seseorang telah mencapai akil balig ketika telah mendapat menstruasi, khusus bagi perempuan, atau mengalami ihtilam bagi laki-laki dan perempuan. Mengenai haid sudah mafhum. Karena adanya hal-hal khusus yang terjadi pada seseorang yang haid, maka tidak sulit untuk mengetahui kapan seorang wanita masuk tahapan akil balig.

Yang agak sulit ditentukan adalah ketika tandanya berupa ihtilam atau keluarnya mani (sperma). Ini adalah peristiwa yang sulit dideteksi. Ihtilam menyangkut pengalaman yang sangat privat yang tidak bisa diketahui orang lain kecuali jika yang bersangkutan menceritakan.

Lalu bagaimana orang tua menyikapi hal ini? Pertama, memberikan pengetahuan tentang apa itu ihtilam dan konsekuensinya. Sehingga, jika anak mengalaminya, dia bisa mendeteksi sendiri dan memahami konsekuensinya. Kedua, bertanya langsung. Ketika anak masuk usia 9 atau 10 tahun, menurut perhitungan Hijriah, hendaknya orang tua mulai sering menanyakan tentang hal ini.

Jika kesulitan untuk bertanya, orang tua bisa memperhatikan dan memeriksa pakaian anak. Ada beberapa cairan yang keluar dari alat kelamin di luar darah haid dan air kencing: mani, madi, dan wadi. Mani inilah yang keluar ketika seorang anak ihtilam. Sedangkan madhi keluar pada saat syahwat. Sementara wadi keluar setelah buang air kecil atau karena mengangkat beban berat. Mani tidak najis, namun orang yang keluar mani wajib mandi besar. Sedangkan madzi dan wadi itu najis sehingga harus dibersihkan terlebih dahulu dan berwudu ketika hendak shalat.

Madzi merupakan cairan yang lengket dan bening. Wadi berupa cairan putih, kental, keruh, dan tidak berbau. Sedangkan mani ketika basah baunya seperti adonan roti, namun ketika kering baunya seperti telur. Penting bagi orang tua memeriksa pakaian anak. Jika mendapati mani, maka berarti anak telah mengalami ihtilam. Jika telah ihtilam, maka harus dibimbing untuk melakukan kewajiban agama karena telah masuk sebagai kelompok mukallaf.

Ada kemungkinan seorang anak memiliki siklus haid atau ihtilam yang terlambat dari sebayanya. Berkenaan dengan kasus ini, literatur agama memberikan batasan bahwa setiap orang yang telah mencapai usia 15 tahun telah dianggap akil balig meski belum haid atau ihtilam. Yang perlu diperhatikan orang tua adalah usia ini ditentukan berdasarkan perhitungan Hijriah, bukan Masehi. Seperti yang kita ketahui, tahun Hijriah lebih pendek dibanding tahun Masehi sehingga usia 15 tahun menurut perhitungan Hijriah tentu lebih awal datangnya jika dibandingkan perhitungan Masehi. Penting bagi orang tua untuk mencatat tanggal Hijriah kelahiran anak. Jika terlanjur tidak hafal, saat ini ada banyak aplikasi atau bisa juga dicari lewat google. Tinggal masukkan tanggal kelahiran anak versi Masehi, maka akan bisa ditemukan tanggal kelahiran versi Hijriah.

Mengajari Bersuci

Bersuci merupakan syarat utama diterimanya ibadah. Bersuci bisa dilakukan dengan cara berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil. Istinja yang dilakukan setelah buang air kecil atau buang air besar. Sedangkan mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar. Termasuk bersuci adalah menghilangkan najis yang menempel di badan, pakaian, atau tempat shalat. Oleh karena itu, anak harus diajari mengenai macam najis dan cara membersihkannya.

Anak yang telah mendekati akil balig, sebaiknya diajari cara-cara untuk bersuci. Tata cara berwudhu barangkali telah lazim diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan. Namun, yang juga penting adalah tata cara melakukan mandi wajib agar ketika anak mengalami ihtilam atau haid, maka anak telah bisa melakukan mandi wajib dan mengerjakan ibadah-ibadah yang lain. Tentu saja, yang juga harus diajarkan juga adalah hal-hal yang membatalkan wudhu atau menyebabkan seseorang mandi wajib.

Hal lain yang juga penting diajarkan adalah perkara-perkara yang boleh atau tidak boleh dilakukan ketika seseorang terkena hadas kecil maupun besar. Berkenaan dengan hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika seseorang memiliki hadas kecil barangkali telah umum diketahui. Sedangkan mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika memiliki hadas besar, anak harus diberitahu bahwa seseorang yang berhadas besar (junub) tidak diperbolehkan memegang dan membaca al-Qur’an, berdiam diri di masjid, shalat, thawaf. Sedangkan untuk wanita yang sedang haid, larangannya ditambah dengan puasa dan talak.

Menutup Aurat

Setelah akil balig, hal lain yang harus dilakukan seseorang adalah menutup aurat. Batasan mengenai aurat telah banyak diketahui. Yang penting untuk diingat adalah pakaian yang dikategorikan bisa menutup aurat. Dalam hal ini, syarat pakaian yang dikategorikan bisa menutup aurat adalah tidak terbuka, bisa menyamarkan warna kulit, dan bisa menyamarkan bentuk tubuh.

Pakaian yang terbuka jelas tidak bisa dikategorikan sebagai penutup aurat. Sementara pakaian yang menutup seluruh bagian tubuh yang menjadi aurat, namun memiliki bahan yang tembus pandang, maka tidak disebut menyamarkan warna kulit. Demikian juga, pakaian berbahan tebal namun terlalu ketat, juga tidak bisa disebut menyamarkan bentuk tubuh, namun malah menonjolkan bentuk tubuh.

Mengenai model pakaian yang digunakan untuk menutup aurat, diserahkan kepada kecenderungan setempat, yang penting tiga syarat di atas telah terpenuhi. Oleh karena itu, pakaian adat, sepanjang memenuhi ketiga syarat di atas, tetap sah dianggap sebagai penutup aurat.

Memperkenalkan Mahram dan Bukan Mahram

Ketika telah memasuki  usia akil balig, yang juga harus diperhatikan adalah pergaulan dengan lawan jenis. Pergaulan dengan lawan jenis yang terlalu bebas merupakan hal yang tidak dituntunkan oleh Islam. Sepanjang tidak ada kepentingan yang penting, Islam memiliki batasan yang ketat dalam soal hubungan lawan jenis yang bukan mahram.

Dalam hal ini, lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah barangkali sudah banyak diketahui. Hal yang sering kurang diperhatikan adalah pergaulan dengan lawan jenis yang masih memiliki hubungan darah. Harus diingat bahwa tidak semua yang memiliki hubungan darah adalah mahram. Dengan kata lain, tidak semua saudara adalah mahram, walaupun masih saudara satu kakek.

Sepupu, misalnya, baik dari pihak ayah maupun ibu, bukanlah mahram. Oleh karena itu, pernikahan antar sepupu adalah sah. Orang tua mesti memperhatikan dan memberi pengertian kepada anak agar tidak bergaul terlalu dekat dengan sepupu yang lawan jenis. Batasan interaksi dengan sepupu lain jenis adalah seperti halnya bergaul dengan non mahram yang bukan saudara. Dalam hal ini, pergi hanya berdua dengan sepupu lain jenis, misalnya, tidak diperbolehkan.

Sedangkan saudara ipar, masih termasuk mahram, namun disebut sebagai mahram muaqqot, hubungan mahram yang terbatas oleh waktu. Jika masih ada ikatan pernikahan, saudara ipar dilarang saling menikah. Namun, jika hubungan pernikahan tidak lagi ada, misal karena kematian, maka ipar boleh dinikahi. Dengan demikian, suami/istri boleh menikah dengan adik/kakak iparnya ketika suami/istrinya, telah meninggal, atau telah bercerai. Meski merupakan mahram, namun batasan-batasan interaksi dengan ipar ini sangat terbatas. Saudara ipar yang berlainan jenis tidak boleh berinteraksi terlalu dekat, atau bepergian tanpa ada orang lain.

Persentuhan kulit dengan sepupu atau ipar lain jenis membatalkan wudhu. Selain itu, persoalan mahram ini juga berkaitan dengan kebolehan seorang wanita membuka aurat. Jika di luar shalat, aurat wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahram muabad adalah seluruh bagian tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan aurat wanita di hadapan sesama wanita atau mahramnya (mahram muabad) adalah antara pusar dan lutut. (Mengenai mahram dan batasan-batasan interaksinya, insya Allah akan dibahas secara khusus pada tulisan lain).

Selain itu, orang tua juga perlu memperhatikan relasi antara saudara kandung yang berlainan jenis. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar memisahkan tempat tidur saudara kandung yang berlainan jenis ketika keduanya telah akil balig.

***

Apa yang dikemukakan di atas adalah hal-hal yang harus disiapkan orang tua ketika anak memasuki usia menjelang remaja. Ada baiknya, karena Nabi ﷺ memerintahkan kita untuk memerintahkan anak shalat pada usia 7 tahun, kita memulai program persiapan anak menjadi mukallaf sejak usia sebelum itu. Misalkan, pada usia 6 tahun, atau bahkan lebih awal, anak mulai diajari untuk menghafal bacaan-bacaan shalat, terutama yang masuk kategori rukun qouli: takbiratul ihram di awal shalat, surah al-Fatikhah di setiap rokaat, serta doa tasyahud, membaca shalawat pada Nabi Muhammad, dan salam pertama pada akhir shalat. Tentu saja, belajar membaca dan menghafal yang baik dan benar sesuai ketentuan bacaan Quran.

Setelah itu, sembari anak dibiasakan mengerjakan ibadah, dia juga diberi pengertian tentang apa yang disebut akil balig dan konsekuensi-konsekuensinya. Sehingga, jika pada usia 9 tahun ternyata anak telah akil balig (misal, telah mendapatkan menstruasi pertama), maka dia sudah paham apa yang harus dilakukan dan yang lebih penting, dia sudah terbiasa melakukan ibadah. Semoga kita dimudahkan untuk melaksanakan kewajiban bagi orang tua ini. Amiin.

wallahu a’lam. (IPG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: