Hanzalah: Sang Pengantin Uhud

Oleh : Muhammad Wahidud Dahri

Setahun telah berlalu sejak kemenangan kaum muslim dalam Perang Badar. Hari itu, Nabi ﷺ menerima seorang utusan. Sang utusan datang dengan membawa sepucuk surat dari paman beliau ﷺ, Abbas, yang mengingatkan bahwa ada tiga ribu tentara tengah bersiap menyerang Madinah.

Ketika surat itu dibaca oleh Nabi ﷺ, pasukan Quraisy memang sedang dalam perjalanan menuju Madinah. Dipimpin oleh Abu Sufyan, pasukan besar itu berharap dapat membalas apa yang telah terjadi di Badar setahun lalu. Semangat mereka berkobar demi menuntut balas kematian orang-orang mereka di medan Badar.

Kaum muslim hanya memiliki waktu selama beberapa hari untuk mempersiapkan diri sebelum pasukan Quraisy datang. Musyawarah digelar. Nabi ﷺ sebenarnya cenderung untuk tidak keluar dari Madinah dan bertahan di dalam kota. Namun, para pemuda yang terbakar semangatnya, meminta Nabi ﷺ memimpin mereka menyerang musuh di luar kota. Semangat ini disambut oleh hampir sebagian besar hadirin. Nampaknya, mayoritas muslim memilih untuk keluar Madinah dan menyongsong musuh. Nabi ﷺ meluluskan permintaan mereka.

Di tengah hiruk-pikuk persiapan pasukan muslim untuk menuju medan perang, tersebutlah seorang pemuda bernama Hanzalah bin Abi ‘Amir. Dia merasa gelisah. Betapa tidak, rencana pernikahan yang akan digelarnya bertepatan dengan keberangkatan pasukan Nabi ﷺ. Kemarin, Nabi ﷺ menyerukan kaum Muslim untuk menyiapkan peralatan perang mereka. Dan, justru itulah hari yang tengah ditunggu-tunggunya untuk menggelar pernikahan.

Mengajukan udzur kepada Nabi ﷺ untuk tidak ikut ke medan pertempuran jelas bukan hal yang diinginkannya. Rasa cintanya kepada sosok agung tersebut mencegahnya berbuat semacam itu. Namun, menunda pernikahan juga bukan gagasan yang menarik untuk dilakukan.

Hanzalah terus berpikir. Dia menimbang berbagai kemungkinan. Manakah kiranya yang terbaik baginya, baik sebagai calon mempelai maupun sebagai pengikut Nabi ﷺ. Seandainya bisa, dia ingin menunda saja pernikahan tersebut. Tapi, semuanya sudah disiapkan. Tidak pergi berjihad juga bukan ide yang bagus. Apakah udzur semacam itu akan diterima Nabi ﷺ? Dan, seandainya diterima, apakah dia akan berani mengatakannya?

Pada akhirnya, dia bertekad untuk menghadap Nabi ﷺ dan mengonsultasikan persoalan ini. Esok setelah shalat Jumat, dia berencana meminta pendapat beliau ﷺ. Hanzalah siap menerima apapun yang akan diputuskan oleh Nabi ﷺ.

Usai shalat Jumat, ternyata dia tidak sendirian. Ada orang lain, Abdallah bin Amr dari Bani Salimah, yang juga menghadap. Rupanya, dia menceritakan mimpinya bertemu dengan seorang syuhada Badar yang mengatakan bahwa dirinya akan segera menyusul mereka ke surga. Setelah Abdallah selesai, Nabi ﷺ bersada, “itulah kesyahidan.”  Abdallah pun pulang mempersiapkan diri dan mengucapkan selamat tinggal kepada anak-anaknya.

Giliran Hanzalah datang. Dia maju dan berkata lirih kepada Nabi ﷺ, “seminggu lalu, aku telah menyiapkan pernikahan,” katanya. “Dan hari inilah pernikahan tersebut,” lanjut Hanzalah. “Ya Rasulullah, aku tidak ingin menangguhkan pernikahan ini. Namun, aku juga tetap ingin berangkat berperang.”

Nabi ﷺ kemudian memutuskan agar pernikahan Hanzalah tetap dilaksanakan dan dimeriahkan. Selain itu, Nabi ﷺ juga mempersilakan Hanzalah menghabiskan malam pertamanya di Madinah. Sebelum matahari terbit, dimungkinkan belum terjadi penyerangan sehingga Hanzalah masih punya cukup waktu untuk turut berangkat bersama Nabi ﷺ. Mendengar keputusan ini, Hanzalah tersenyum lega. Akhirnya, semuanya terselesaikan dengan baik.

Pernikahan dan walimah Hanzalah dan istrinya, Jamilah, pun digelar. Malam itu, sebagai pengantin baru, Hanzalah menghabiskan sepanjang malam bersama istrinya. Malam pertama yang indah mereka lalui, meski pun esok hari sang suami harus segera bergabung dengan pasukan Nabi ﷺ.

Tak terasa, fajar datang. Hanzalah, yang baru saja menikmati malam pertamanya, terbangun dengan tergesa. Dia merasa telah terlambat dan khawatir tertinggal dari pasukan Nabi ﷺ. Bergegas, dia pamitan pada istrinya. Hanzalah segera menyusul pasukan Nabi ﷺ , dan lupa bahwa dia belum melakukan mandi wajib.

Di medan pertempuran, Hanzalah maju dengan gagah. Semangat tempurnya tak terbendung. Hampir saja dia membunuh pimpinan pasukan Makkah, Abu Sufyan, yang telah dikuasainya secara penuh. Namun, malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba saja, seorang dari pasukan Makkah muncul menolong Abu Sufyan. Orang itu berhasil menusuk Hanzalah dari samping dengan tombaknya. Hanzalah syahid setelah jatuh dan terkena tusukan yang kedua. Pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan itu syahid bersama para syuhada Uhud.

Ketika kecamuk perang menjauh dari Nabi ﷺ dan orang-orang Makkah terdesak menuju kemah mereka, Nabi ﷺ menengadahkan wajah ke langit. Mata beliau ﷺ  menatap ke atas. Setelah itu, beliau ﷺ bersabda kepada para sahabat yang ada di sampingnya, “sahabat kalian, Hanzalah, tengah dimandikan oleh para malaikat.”

Setelah perang berakhir dan Nabi ﷺ kembali ke Madinah, suatu saat Nabi ﷺ bertemu dengan Jamilah, istri Hanzalah. Kepadanya beliau ﷺ mengatakan, “Aku melihat para malaikat memandikan Hanzalah di antara langit dan bumi dengan air dari awan dan bejana-bejana perak.” Jamilah pun mengatakan kepada Nabi ﷺ bahwa karena takut terlambat ke medan perang, suaminya berangkat dengan tergesa dan lupa bersuci setelah melewatkan malam pertama mereka.

 

Sumber:

‘Izzudin bin Atsir Abi Hasan Ali bin Muhammad al-Jazari, Usdul Ghobah fi Ma’rifati Shohabah, Juz 2.

Martin Lings, Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik.

Quraish Shibah, Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih.

 

Satu tanggapan untuk “Hanzalah: Sang Pengantin Uhud

  • 16 September 2019 pada 10:28
    Permalink

    Kisah inspiratif sahabat Hanzalah… Thanks lik Irfan.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: