Amsterdam, Tempe, dan Sarung
Oleh: Fachrur Rozie
Seperti umumnya kota-kota di Eropa, Amsterdam juga membanggakan kotanya dengan menghadirkan gedung-gedung tua yang tertata apik dan terawat. Yang membedakannya dari kota-kota di Eropa lainnya adalah, kota ini berada lebih rendah di bawah permukaan air laut. Tidak mengherankan jika kita menyusuri kota ini, tanggul yang membendung air laut hampir selalu menyertai di samping jalan yang kita lalui. Itu sebabnya banyak kota di Belanda bernama dengan akhiran dam, yang berarti bendungan, seperti Amsterdam, Rotterdam, dan lain-lain.
Selain jalan-jalan yang dikelilingi tanggul, ada beberapa ruas jalan yang bahkan berada di bawah laut. Jadi, kita berjalan menyusuri terowongan yang di atasnya adalah kapal-kapal yang berlalu-lalang ke dan dari dermaga. Amazing. Seperti jalur Paris–London yang bisa ditempuh dengan kereta super cepat (TGV) atau bus yang melewati jalan di bawah laut sepanjang kurang lebih 50 km.
Berbicara tentang Amsterdam mengingatkan kita pada sebuah negeri yang hadir di Indonesia selama kurun waktu 350 tahun, negeri Belanda atau Netherland. Iya, Amsterdam adalah ibukota kerajaan Belanda yang pernah menjajah Indonesia.
Amsterdam memang kota tua yang awalnya hanya merupakan desa nelayan kecil pada abad ke-12. Namun ia terus berkembang seiring berjalannya waktu dan kemudian menjadi kota terpenting di Eropa. Pada abad ke-17 Amsterdam dikenal sebagai ‘Centre of the Dutch of Golden Age’ atau kota pusat zaman keemasan Belanda, karena saat itu Amsterdam merupakan kota terkaya di Dunia Barat. Kekayaan ini diperoleh karena jaringan perdagangan internasional Belanda yang mengalami kemajuan pesat melalui badan perdagangannya, VOC…! Bank Amsterdam mulai beroperasi pada tahun 1609. Amsterdam menjadi kota budaya dan keuangan.
Sejarah ini cukup menyakitkan, karena pada saat yang sama, leluhur-leluhur kita di Nusantara justru sedang mengalami penderitaan akibat ulahnya. Ya, ini cerita zaman old, di mana orang-orang Belanda saat itu mengeruk hasil bumi Nusantara lalu dibawa pulang ke negerinya untuk kemudian dimanfaatkan. Zaman now sudah tidak ada lagi. Tetapi kita bisa mengambil sisi positif dari sejarah ini bahwa Belanda menjadi kaya karena Indonesia. Indonesialah yang membuat Belanda kaya. Saya kira, sikap ini lebih bisa mencerminkan bahwa kita negeri yang besar dan kaya, sejak dulu sampai sekarang. Tinggal soal pengelolaannya saja yang harus terus menerus dibenahi untuk Indonesia yang lebih baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan di dalam Negera Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Banyak destinasi wisata di kota metropolitan ini, seperti Dam Squere yang selalu ramai dan menjadi jujugan setiap pelancong mancanegara maupun lokal yang menjadikannya sebagai tempat kumpul-kumpul. Dam Squere adalah alun-alun kota yang berada di pusat kota Amsterdam. Di Dam Squere ini terdapat Istana kerajaan yang pernah menjadi tempat penandatangan perjanjian Linggarjati. Perjanjiannya sendiri dilakukan di Denhaag (The Hague), tetapi penandatanganannya dilakukan di Amsterdam karena Ratu Beatrix berada di istana ini.
Ada lagi tulisan ‘I Amsterdam’. Ini adalah ikon Belanda yang paling bisa menunjukkan di mana Anda berada. Terdapat empat tempat yang memiliki tulisan ini, yakni di depan Rijkmuseum di Museum Squere, di Amsterdam Museum, di bandara Schiphol Amsterdam, dan satu tulisan yang berpindah-pindah tempatnya. Saya sendiri memilih tulisan ‘I Amsterdam’ yang berada di bandara Schiphol Amsterdam karena pertimbangan lebih dekat dan praktis, wong cuma untuk menunjukkan saja kok bahwa saya pernah berada di tempat ini. Ada juga tulisan ‘I Amsterdam’ di Centraal Stasiun Amsterdam. Bedanya, tulisan yang di stasiun tidak ada gambar hati yang berwarna merah. Saya juga mengambil gambar di sini.
Musium Amsterdam juga merupakan musium yang banyak menyimpan sejarah Indonesia. Musium ini terletak tidak jauh dari Dam Squere, cukup jalan kaki dengan menyusuri jalan di antara gedung-gedung tua. Ada juga museum Tulip yang menyimpan sejarah per-tulip-an. Bunga Tulip itu sendiri baru mulai berkembang dan mekar pada bulan April nanti. Makanya bagi yang suka bunga Tulip, destinasi Taman Tulip ini wajib menjadi menu utama kunjungannya.
Destinasi lainnya adalah kawasan desa nelayan yang terkenal, Volendam. Saya memulai kunjungan ke sini dengan berjalan menyusuri De Dijk, wilayah sekitar pelabuhan utama, yang merupakan pusat perbelanjaan dan deretan perumahan tradisional berbahan dasar kayu yang anggun dan bersahaja. Banyak kapal nelayan yang sedang berlabuh. Suasananya sangat bersahabat, lingkungannya bersih tertata dan rapih. Suhu kemarin masih dingin, sekitar 3 derajat Celcius, tetapi matahari bersinar terang. Saya tetap berjaket bahkan saya lengkapi dengan memakai syaal, lebih tepatnya sarung yang saya fungsikan sebagai syaal. Maksudanya, kalau tiba-tiba dingin menusuk kulit, maka sarung bisa digunakan untuk krodongan, pas waktu shalat tiba bisa digelar sebagai sajadah, dan jika celana kena najis, sarung bisa dipakai untuk shalat. Sarung memang pakaian multi talenta yang khas Indonesia.
Konon, mengunjungi Volendam sama dengan merasakan Belanda zaman old. Saya tidak tahu Belanda zaman dulu seperti apa, tetapi saya merasakan sensasi tradisional di tempat ini. Katanya belum sah kalau berkunjung ke sini tidak beli ikan yang dimasak dengan cara diasap. Kamipun belilah ikan asap itu. Dan ketika dimakan, ternyata, wow.., Masya Allah, lebih enak dari pada yang diceritakan, apalagi ditambah dengan sambel kecap khas Indonesia dan taburan bawang goreng, semakin nylekamin saja.
Alhamdulillah saya berkesempatan menikmati semua ini berkat kebaikan orang Indonesia yang sudah lebih dari 40 tahun hidup di Belanda, bapak Muhammad Jusuf Sokartara. Saya dijemput dan diantar dengan mobilnya dari dan ke Central Stasiun Amsterdam, stasiun kereta api tempat pemberhentian bus rombongan saya. Saya lalu dibawa muter-muter Amsterdam dan sekitarnya, dan diajak makan di rumahnya bersama keluarga beliau. Saya berterima kasih kepada beliau dan keluarga. Semoga beliau selalu sehat dan memperoleh hidup yang lebih bermakna dan barokah.
Yang tak kalah menariknya adalah toserba Oriental. Toserba ini milik Chinese, tetapi memasuki area ini terasa seperti berada di Indonesia. Tempe, tahu, rengginang, aneka krupuk Sidoarjo, budin, aneka sambel, Indomie, dan lain-lain bahan makanan dan kuliner yang berasa Indonesia ada di sini, dan banyak orang yang berkunjung bisa berbahasa Indonesia. Toserba ini bak surga bagi orang Indonesia yang tinggal di Eropa tetapi lidahnya masih belum bisa bersahabat dengan makanan Eropa. Dan saya termasuk di dalamnya. Tentu saja, saya menjadikan toserba Oriental ini sebagai destinasi wajib ketika ke Amsterdam. Lumayan, balik ke Prancis bisa bawa pulang tempe, krupuk, sambel, dan lain-lain makanan rasa Indonesia. Kangen Indonesia cukup terobati. Alhamdulillah (dari berbagai sumber). Wallahu a’lamu bi al-shawab***
Amsterdam, 17 Februari 2017
Fachrur Rozie adalah Direktur Yayasan Miftahul Huda Kroya yang pertama. Saat ini, tengah menempuh S3 di Prancis.