ROTI PAHIT

Majed Abu Sharar

Melalui kota kecil, yang terletak di kaki sebuah gunung yang gundul, mengalir sebuah sungai kecil yang membuat pepohonan di sekitarnya bersemi. Tanah subur itu berujung di sebuah tepian yang kelabu. Inilah tambang fosfat dekat al-Rasaiyfeh tempat aku dan ratusan orang lainnya bekerja.

Pagi-pagi sekali, kami harus pergi ke gudang tempat mereka memberi kami peralatan yang dibutuhkan. Kami berjalan menyusuri rel kereta sembari mendorong sebuah lori dan memasuki terowongan. Pegunungan itu pun kemudian menelanku dan para pekerja lainnya. Berjam-jam lamanya kami menggali bubuk-bubuk putih dari bukit itu.  Kami memuati lori dengan bubuk putih kemudian kami mendorongnya keluar untuk mengosongkannya dan mencatat di sebuah kertas: “Satu gerobak, 35 Piaster.”

Pekerjaan ini sangat berat, bahaya kematian selalu mengintai di dalam sebuah gua penambangan.  Ditambah lagi areal pertambangan ini sangat lembab dan kurang cahaya. Bahaya itu membuat aku sangat cemas, terutama pagi pertama aku bekerja di tambang ini. Suara Abu Khamis yang berasal dari celah kecil terowongan membuyarkan lamunanku.

“Apakah itu engkau, Faiq?  Kau terlambat.”

Aku menghentikan lori, menarik kampak, sekop, kotak, dan sebuah senter kecil mengarah kepadanya.”

“Selamat pagi, apakah tanah di sini sulit digali?”

Tanpa mengangkat kepala dia menjawab, “Aku sedang menggalinya.”

Kemudian kami berdua pun sibuk menggali diterangi cahaya yang pucat dan kedinginan.  Setiap kali mengangkat kepala, aku mendapati Abu Khamis tengah berkerja sangat keras seolah dia bukan lelaki berusia lima puluh tahun.  Setiap kali aku memperingatkannya agar tidak bekerja terlalu keras, dia berkata, “Apa pedulimu?  Kau tidak memiliki seorang istri sakit yang tengah menunggu makanan, atau anak-anak yang kelaparan, atau biaya sekolah yang harus dibayar.”

Kemudian dia berhenti dan menatapku.   Aku tahu dia memperhatikanku.

Selama masa istirahat yang singkat, seperti biasa kami memakan makanan kering–sepotong roti dengan sebutir tomat dan air.  Selama masa istirahat itulah aku berusaha mengenal Abu Khamis, namun ia tampaknya tak mau menjawab pertanyaanku.  Dia tidak ingin seorang pun mencampuri kehidupannya.   Sedikit demi sedikit, aku berusaha merebut kepercayaannya. Dia menceritakan, tentang Jaffa dan belukar jeruk yang tampak seperti langit hijau bertabur bintang-bintang kekuningan.  Dia juga bercerita tentang pabrik kecil yang dia tinggalkan dengan hati yang hancur, luluh-lantak bersama anak laki-lakinya yang syahid.

Dia bercerita tentang kehidupan yang mengenaskan yang dialaminya setelah meninggalkan Jaffa.  Aku mengerti maksudnya adalah kelaparan, kedinginan, keterasingan, dan kepedihan karena kehilangan seorang anak.   Kata-katanya bercampur dengan kepedihan sementara kedua matanya dibayangi cahaya kemarahan.

Suatu hari dia berkata padaku, “Faiq, kau masih muda, tapi aku merasa seolah segalanya meninggalkanku begitu masa mudaku telah lewat.  Cahaya mataku memudar, otot-ototku lemas, dan umurku meninggalkanku, pergi menuju peristirahatan abadi.”

Aku mencoba menguatkannya.  “Kau masih sangat kuat dan enerjik, bahkan terlihat lebih muda dari aku.  Rata-rata kau memuat dua lori perhari sementara aku hanya satu.”

“Itu bukan kekuatan yang kuinginkan.   Itu sisa-sisa kekuatan yang kukerahkan dari tubuh lelah ini.”

Dia selalu meratapi masa mudanya, meskipun ia pekerja paling rajin di tambang ini.  Apa yang diinginkannya adalah memenuhi kebutuhan istrinya yang sakit dan kelima anaknya.  Istrinya membutuhkan makanan bergizi dan obat-obatan, sementara anak-anak perempuannya memerlukan biaya sekolah.  Dia menjadikanku teman berbagi rahasia. Setiap hari dia mengabarkan tentang keluarganya.

“Suhaila menjadi juara pertama di kelasnya.  Aku berjanji membelikan jam tangan.  Aku harus mulai menabung.”

Pada waktu yang lain dia bercerita sembari tertawa,  “Tahukah kau apa yang diinginkan Leila?  Dia ingin sebuah mobil merah seperti mobil yang mengantar Afaf (tetangga kami) ke sekolah.  Dia marah-marah karena aku tidak berjanji membelikannya.”

Di hari ketiga dia berkata, “Dokter meminta 30 Dinar Yordania untuk biaya operasi istriku.  Aku berkata padanya bahwa aku seorang pekerja miskin. Dia bertanya,’lalu?’”

Satu hari dia mencegatku sehabis aku mengosongkan lori dan berkata:

“Faiq aku ingin menanyakan sesuatu padamu”

“Apa?”

Dengan ragu dia bertanya, “Berapa lama seorang penderita penyakit paru-paru bisa bertahan hidup?”

Aku menjawab, “Mengapa kau menanyakannya?”

Dia menjawab dengan sedih, “Aku mengidap penyakit itu.”

Aku terkejut.  Aku mencoba membujuknya untuk pergi ke dokter, namun dia berkata, “Tidak.  Aku tidak akan pergi.”

Aku berkata, “Perusahaan tidak menanggung pengobatan kita.  Itu berarti kau harus pergi sendiri ke dokter, atau kau akan mati.”

“Aku tahu, tapi apa yang akan dilakukan dokter?  Dia akan mengirimku ke rumah sakit untuk merawatku, tapi siapa yang akan memberi makan istri dan anak-anakku?  Apa kau mengerti?”

Hari-hari berlalu dan Abu Khamis tetap bekerja di gunung ini, sementara TBC terus menggerogoti dadanya.

Aku menjalani masa-masa sulit.  Batuk Abu Khamis menyesakkan dadaku terlebih dahulu sebelum menyesakkan dadanya.  Aku sering merasa khawatir ketika batuk itu terus menyerangnya sementara darah keluar dari mulutnya.  Ketika dia berhenti batuk, dia kembali melanjutkan pekerjaan dengan diam.  Dari waktu ke waktu aku semakin sering mengisi lorinya dengan fosfat.  Hanya ini yang bisa aku lakukan.  Dia sangat mengasihiku.  Andai kemudaan bisa dipindah dari satu orang ke orang lainnya, aku ingin membagi kemudaanku dengannya.

Dia mulai merasa bahwa kematiannya kian dekat.  Pekerjaan berat yang dia lakukan menjadikannya kian dekat dengan kematian.  Dia sangat mengkhawatirkan keluarganya akan menderita kelaparan saat sekali tak dapat bekerja.   Dia ingin tetap hidup setidaknya hingga putri sulungnya menamatkan SMU dan dapat menjadi seorang guru.

Satu pagi, Abu Khamis tidak masuk kerja.  Aku tahu ia mulai menyerah pada sakitnya. Aku pergi untuk mengunjunginya.  Segalanya memancarkan tanda-tanda kematian.

Batuknya mereda, sementara cahaya kehidupan pergi dari matanya.  Dia menatapku dengan tatapan yang mengadung beribu makna.  Istri dan anak-anaknya menangis di sudut ruangan.   Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, gemetar, sementara kepala dan kedua tangannya merapat ke dadanya.  Kemudian aku menutupi wajah yang telah meninggalkan kehidupan itu.

 

===========================================================

Ditulis pada tahun 1959

 

Majed Abu Syarar adalah kepala dinas informasi PLO dan anggota komite pusat Fatah. Terbunuh akibat bom yang dikendalikan dari jauh di sebuah hotel di Roma ketika ia menghadiri konferensi pengarang dan intelektual Palestina. Dia dianggap sebagai penulis fiksi terdepan palestina. Cerita pendek berikut ini diterbitkan dalam Al-Ufuq al-Jadid (Cakrawala Baru), satu-satunya majalah sastra di Tepi Barat pada tahun 1960-an.

Dalam cerita-ceritanya, Majid Abu Syarar sering mengangkat persoalan dan penderitaan yang dialami orang-orang miskin, sebuah cara pandang yang sering diabaikan oleh para penulis lain di kawasan itu.

Gaya bahasanya dianggap sebagai gaya bahasa yang sederhana dan reflektif dan diperuntukkan bagi selurh lapisan masyarakat, tidak hanya bagi para elit. Majid hidup dan kemudian mati karena membela satu persoalan. Dia mengatakan, mengutip sebuah frasa yang merefleksikan keteguhan yang menyebabkan ia meninggal, “Pada hari-hari ini, kematian hadir di setiap tindakan yang kita lakukan, dalam pergerakan dan dalam perhentian, namun saya memilih untuk mati ketika bergerak.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: