Ketika Pak Kyai (Nyaris) Mendapat Piala Citra

Bagi para penggemar film, barangkali masih mengingat bahwa dasawarsa 1990-an layar-layar bioskop kita dikuasai oleh film-film Hongkong, India, atau film-film Indonesia yang bertema dewasa dan komedi. Dasawarsa ini juga ditandai dengan lesunya dunia perfilman di Indonesia. Hanya sedikit film-film nasional yang diciptakan. Kalau pun secara kuantitas banyak, namun secara kualitas kurang memuaskan.

Namun di tengah masa-masa kelesuan tersebut, kita bisa mendapati adanya fenomena menarik dari dunia film yang ditampilkan dalam film berjudul Nada dan Dakwah. Pertama-tama, film ini membelakangi kecenderungan tema saat itu, yakni dengan memberikan tawaran tema relijius, bukan komedi, percintaan, dan dewasa. Kedua, film ini mencoba menggulirkan gagasan untuk menyatukan musik (dangdut) dan dakwah dalam satu frame. Terakhir, jika Anda para penggemar Rhoma dan mengikuti film-filmnya, bisa dikatakan ini adalah film Rhoma yang paling baik, meski barangkali tidak sepopuler film-film Rhoma lainnya.

Sesuai dengan judulnya, Nada dan Dakwah, film ini memang diisi oleh dua ikon populer dari dunia nada (Rhoma Irama) dan dakwah (K. H. Zainudin M. Z). Soal Rhoma tidak usah diragukan lagi. Ia adalah raja dangdut yang hingga kini posisinya belum tergeser. Sementara itu, K. H. Zainuddin MZ adalah satu-satunya mubaligh legendaris yang mendapat julukan dai sejuta umat. Julukan ini memang bukan hal yang berlebihan karena di manapun ceramahnya dinanti-nanti oleh umat, kaset-kaset ceramahnya dibeli, dan hampir setiap pagi radio-radio memutar ceramah beliau.

Selain kedua nama tersebut, film ini juga diisi oleh para aktor kawakan diantaranya adalah Dedi Mizwar, W. D. Muchtar, Nani Wijaya, Ida Iasha yang merupakan nama-nama tenar dunia perfilman saat itu. Sementara, sosok di balik layar yang membidani film ini adalah Chaerul Umam sebagai sutradara dan Asrul Sani sebagai penulis naskah. Nama terakhir terkenal luas sebagai penyair, seniman, intelektual, aktivis, dan politisi. Ia juga dikenal sebagai pendiri Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), sebuah lembaga kesenian/kebudayaan dalam Nahdlatul Ulama.

Film ini sendiri mengetengahkan kisah yang cukup menarik, yakni konflik pertanahan akibat dari pesatnya pembangunan. Ringkasnya, suatu desa bernama Pandanwangi mendadak mengalami gejolak karena mendengar kabar bahwa tanah tempat mereka bermukim akan dibeli oleh seorang konglomerat. Konflik antara penduduk dan para kaki-tangan konglomerat pun mulai bermunculan. Konflik itu akhirnya meluas bukan hanya pada masalah tanah, tetapi juga menyentuh masalah moral dengan akan didirikannya tempat hiburan dan bilyard di tanah tersebut. Pimpinan pesantren di daerah tersebut, H. Murad yang dibantu Rhoma, berusaha menyadarkan penduduk agar tidak menjual tanahnya. Tampilnya tokoh kharismatik K.H. Zainuddin M.Z. berhasil menjernihkan konflik tersebut, bahkan berhasil menyadarkan sang konglomerat Bustani.

Dalam pergelaran Festival Film Indonesia tahun 91/92, film ini masuk dalam banyak daftar nominasi. Dan, salah satu yang termasuk dalam daftar nominasi tersebut adalah K. H. Zainuddin M. Z yang dinominasikan sebagai pemeran pendukung pria terbaik. Konon, beliau bukan hanya sekedar nominator, namun berhasil meraih Piala Citra untuk kategori tersebut. Namun, sejak awal beliau mengundurkan diri dari daftar nominasi sehingga Piala Citra kategori ini jatuh kepada Dedi Mizwar yang juga bermain dalam Nada dan Dakwah. Bagi insan perfilman, piala ini tentu sebuah penghargaan yang prestisius (mirip-mirip dengan piala Oscar kalau di Amerika), namun barangkali karena pertimbangan lain, K. H. Zainuddin M. Z memilih untuk tidak turut dalam nominasi. Lahu al-Fatikhah…

Sutradara         :  Chaerul Umam

Penulis             :  Asrul Sani

Pemeran          :  Rhoma Irama, Ida Iasha, K.H. Zainuddin M.Z., Deddy Mizwar, W.D. Mochtar, Fuad Alkhar, Kies Slamet, Amak Baldjun

Musik              : Didi AGP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: