Abu Dujanah: Pendekar Yang Membuat Nabi Menitikkan Air Mata

Oleh: Muhammad Wahidud Dahri

Hari itu, Nabi ﷺ sibuk mengatur barisan pasukan yang hendak bertempur di Uhud. Beliau ﷺ membagi para sahabat menjadi beberapa kelompok dan menempatkan kelompok-kelompok tersebut pada posisi tertentu. Lima puluh orang pasukan panah ditempatkan di atas bukit di bawah pimpinan Abdullah bin Jubair Khusus untuk pasukan panah, beliau ﷺ memberi pesan bahwa apapun yang terjadi, mereka tidak boleh meninggalkan pos.

Setelah menempatkan pasukan di posnya masing-masing, Nabi ﷺ menghimbau pasukannya agar sabar dan tabah menghadapi serangan pasukan musuh. Kemudian, beliau ﷺ mengenakan mantel baja. Untuk membakar semangat pasukan, beliau ﷺ mengacung-acungkan sebilah pedang sambil bersabda, “siapa yang memenuhi syarat memegang pedang ini?”

Sayidina Umar maju. Dia bermaksud mengambil pedang itu. Tapi, Nabi ﷺ menolak. Dan kembali beliau ﷺ berkata, “siapa yang memenuhi syarat memegang pedang ini?” Kali ini giliran Sahabat Zubair maju dan berkata bahwa dia akan mengambilnya. Namun, sekali lagi Nabi ﷺ menolak.

Ketika Nabi ﷺ berseru untuk ketiga kalinya, seorang lelaki dari kabilah Khazraj bernama Abu Dujanah (Simak bin Harsyah) tampil ke depan. Kepada Nabi ﷺ dia bertanya, “Apa syaratnya, wahai Rasulullah?” Nabi ﷺ menjawab, “syaratnya, engkau harus bisa menebas musuh hingga mata pedangnya bengkok.” Dengan gagah Abu Dujanah berkata, “akan kuambil dan kupenuhi syaratnya.” Nabi ﷺ menyerahkan pedang itu kepadanya.

Abu Dujanah adalah seorang lelaki gagah berani dan dibanggakan dalam perang. Dia suka mengenakan surban merah yang di kalangan kaumnya dikenal sebagai “surban kematian.” Jika surban itu dikenakan, seperti hari itu, mereka tahu bahwa Abu Dujanah akan membantai pasukan musuh habis-habisan. Tidak ada seorang pun yang meragukan keberaniannya. Terlebih, dia telah menerima langsung amanat pedang dari Nabi ﷺ.

Ketika pertempuran berkecamuk, Abu Dujanah memenuhi janjinya. Lambaian surban merah mengiringinya membabat setiap musuh yang ditemui. Suatu saat, pedangnya hampir mengenai seseorang. Ketika orang itu memekik, tahulah Abu Dujanah bahwa yang hampir dibunuhnya adalah Hindun, istri Abu Sufyan. Ia mengurungkan niatnya. “Kuhormati pedang Rasulullah ﷺ. Tidak wajar membunuh seorang perempuan dengan pedang itu,” katanya.

Zubair, yang penasaran apa yang menyebabkan Rasulullah ﷺ memberikan pedangnya kepada Abu Dujanah terus mengikuti gerak-geriknya. Zubair merasa dia harus mengetahui kehebatan orang tersebut sehingga dia, yang merupakan putra saudara perempuan ayah Nabi ﷺ, ditolak untuk memegang senjata tersebut. Setelah menyaksikan sendiri sepak terjang Abu Dujanah di medan pertempuran, Zubair baru memahami mengapa Nabi ﷺ mempercayakan pedang itu kepada Abu Dujanah. Dia menjadi saksi dan sekaligus mengakui kehebatan Abu Dujanah di medan pertempuran.

Ketika pertempuran berbalik menjadi keuntungan pasukan Makkah dan pasukan muslim kocar-kacir, Abu Dujanah adalah salah seorang sahabat yang teguh berada di sisi Nabi ﷺ. Tanpa kenal takut dan lelah, dia menghalau setiap orang yang hendak memburu beliau ﷺ. “Ayo lawan aku!” kata Abu Dujanah menyongsong pasukan musuh yang semakin merangsek ke arah Nabi ﷺ. Abu Dujanah terus bertempur dengan gagah berani hingga pertempuran berakhir. Selain perang Uhud, Abu Dujanah juga mengikuti perang-perang Nabi ﷺ yang lain. Abu Dujanah syahid dalam perang Yamamah ketika memerangi Musailamah al-Kadzab.

Kisah Abu Dujanah dan Kurma Tetangga

Selain dikenal dengan keberanian dan kecakapan bertempur, Abu Dujanah juga dikenal sebagai seorang yang sangat menjaga diri dan keluarganya dari barang haram. Dia sangat berhati-hati dalam menjaga apa yang masuk ke dalam perutnya dan perut keluarganya. Kisah tentang keteguhan Abu Dujanah dalam menjaga diri dari barang haram ini bisa kita dapatkan dalam kitab Ianatut Tholibin (lihat Bab Luqotoh). Berikut ringkasan kisah tersebut.

Suatu saat, setiap usai melakukan jamaah Subuh, Abu Dujanah selalu bergegas pulang tanpa mengikuti doa bakda shalat yang dibacakan oleh Nabi ﷺ. Melihat gelagat ini, Nabi ﷺ mencoba mencari keterangan darinya. “Mengapa setiap kali kau terburu-buru pulang dari jamaah subuh. Apakah kau tidak memiliki permintaan kepada Allah sehingga mengabaikan doa?” tanya Nabi.

Abu Dujanah, yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini dari Nabi ﷺ, kemudian menjawab. “Begini,” kata Abu Dujanah, “rumah kami berdampingan dengan seorang tetangga yang memiliki pohon kurma. Dahan-dahan salah satu pohon kurma itu menjuntai ke rumah kami. Setiap kali ada angin bertiup di malam hari, kurma-kurma tetanggaku itu berjatuhan di rumah kami. Aku pulang cepat untuk mengumpulkan kurma-kurma yang tercecer itu dan mengembalikan kepada pemiliknya.”

“Ya Rasul,” lanjut Abu Dujanah, “kami ini orang tak berpunya. Sering kali kami kurang makan. Anak-anakku sering merasa kelaparan. Aku takut ketika anak-anakku terbangun, mereka akan memakan apa saja yang mereka temukan.”

“Suatu saat, ketika aku agak terlambat pulang,” sambung Abu Dujanah, “aku mendapati anakku tengah memakan kurma tentangga yang berjatuhan itu. Aku melihat dia tengah mengunyah kurma yang dia pungut dari tanah. Kemudian, aku masukkan tanganku ke mulutnya dan mengeluarkan kurma yang telah dia kunyah. Anakku menangis karena kelaparan. Namun, aku katakan kepadanya agar jangan membuatku malu di akhirat nanti karena perbuatanmu itu. Hingga nyawamu lepas pun aku tidak rela meninggalkan harta haram dalam perutmu. Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya. Demikianlah, Ya Rasul, mengapa aku selalu tergesa-gesa pulang seusai shalat subuh.”

Rasulullah ﷺ menitikkan air mata mendengar kisah ini. Rasa iba mendorong beliau ﷺ mencari tahu siapa pemilik pohon tersebut. Ternyata, pohon itu milik seorang munafik. Rasulullah membujuknya untuk menukar kurma tersebut dengan pohon kurma yang lebih indah di surga. Namun, dengan pongah orang munafik itu menjawab bahwa dia tidak akan menjual pohon tersebut kecuali secara kontan. Bahkan, dengan kasar orang itu mengatakan bahwa dia tidak perlu janji-janji apapun, termasuk janji mendapat ganti pohon kurma di surga.

Demi mendengar hal itu, Sayidina Abu Bakar segera mengajukan tawaran. Sayidina Abu Bakar bersedia membeli pohon tersebut dengan harga sepuluh kali dari harga normal. Sehingga, dia akan mendapatkan banyak keuntungan. Si munafik menerima tawaran itu. Kemudian, Sayidina Abu Bakar menyerahkan pohon kurma tersebut kepada Abu Dujanah.

Ketika pulang, orang munafik tersebut bercerita kepada istrinya bahwa hari itu dia mendapat keuntungan berlipat. Dia menjual pohon kurma mereka seharga sepuluh kali lipat. Padahal, pohon tersebut tetap berada di pekarangan rumah mereka. Si munafik mengatakan sebuah rencana pada istrinya bahwa setiap pagi dia akan memetik kurma tersebut dan tidak akan memberikan kepada Abu Dujanah.

Namun, mukjizat terjadi. Malam, ketika hendak tidur, si munafik masih melihat pohon kurma itu berada di pekarangannya. Tetapi, ketika pagi datang, dia mendapati pohon kurma itu telah berpindah ke halaman Abu Dujanah. Sementara, tempat asal pohon itu rata dengan tanah, seolah tidak pernah ada tanaman yang tumbuh di situ. Inilah salah satu mukjizat Nabi ﷺ yang langsung dirasakan oleh sahabatnya yang teguh, Abu Dujanah.

 

Sumber:

Martin Lings, Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik.

Quraish Shibah, Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih.

Sayid Bakr Syatha, Ianatut Thalibin, Juz 2 Bab Luqotoh

Satu tanggapan untuk “Abu Dujanah: Pendekar Yang Membuat Nabi Menitikkan Air Mata

  • 21 September 2019 pada 09:51
    Permalink

    By Gus Ipank Zakky…..

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: