Kyai Ma’shum Ali: Sosok Sederhana dengan Karya Monumental

Hampir di setiap pesantren di Jawa atau bahkan Indonesia, para santri memiliki sebuah kitab tidak begitu tebal, terkadang malah berbentuk kecil dan tipis, tapi merupakan pegangan wajib para santri yang ingin mempelajari bahasa Arab. Kitab tersebut adalah al-Amtsilah at-Tashrifiyah.  Ya, kitab ini memang merupakan kitab penting dalam mempelajari bahasa Arab.

Bersama dengan kitab al-Jurmiyah, yang membahas tentang tata bahasa Arab (nahwu), kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyah, merupakan dua rujukan utama dalam mempelajari bahasa Arab di banyak pesantren sejak puluhan tahun yang lalu. Tidak mengherankan jika kedua kitab ini sangat populer di kalangan santri pesantren.

Barangkali, kepopuleran kedua karya tersebut tidak diragukan lagi. Namun, mungkin hanya sedikit yang mengetahui sosok penulis (mualif)kedua kitab tersebut, apalagi biografinya. Kitab al-Jurmiyah, seperti tersirat dari judulnya, dikarang oleh Ibnu Ajurum atau Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud Ash-Shanhaji yang berasal dari Maroko. Sedangkan kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyah dikarang oleh Kyai Ma’shum bin Ali atau lebih dikenal dengan nama, Kyai Ma’shum Ali.

Mengenai Ibnu Ajurum insya Allah akan dibahas pada tulisan lain. Saat ini, kita akan membahas tentang sosok Kyai Ma’shum Ali. Sosok cemerlang dan kaya ilmu, namun karena kesederhanaannya banyak orang yang kurang mengenal sosok kyai alim satu ini.

Kyai Ma’shum Ali: Sosok Sederhana dengan Karya Luar Biasa

Sebenarnya, mudah saja bagi Kyai Ma’shum Ali untuk menjadi populer. Pertama, beliau dikenal sangat alim dan memiliki karya monumental. Kedua, beliau adalah menantu pendiri Nahdlatul Ulama, K. H. Hasyim Asy’ari. Ketiga, beliau berasal dari keluarga terpandang. Pamannya, Kyai Faqih Maskumambang adalah wakil Rais Akbar NU, atau wakil dari K. H. Hasyim Asy’ari, yang berarti orang nomor dua dalam struktur Nahdlatul Ulama. Namun, karena kesederhanaan, justru karya beliau yang lebih dikenal daripada sosok beliau.

Lahir pada tahun 1893 M, Kyai Ma’shum mengawali pendidikannya dengan belajar pada keluarganya sendiri. Kyai Ma’shum muda dididik langsung oleh ayah beliau, Kyai Ali dan paman beliau, Kyai Faqih Maskumambang. Pada pamannya ini, Kyai Ma’shum belajar berbagai disiplin ilmu agama, salah satunya adalah astronomi (falak).

Lepas dari desa kelahirannya, Maskumambang, Gresik, melanjutkan studinya di Pesantren Tebuireng. Di Tebuireng ini beliau termasuk santri generasi awal asuhan K. H. Hasyim Asy’ari. Di Tebuireng, pemuda Ma’shum termasuk santri dengan kemampuan di atas rata-rata. Kepintaran dan kecerdasannya melampaui santri lain. Inilah yang kemudian membuat K. H. Hasyim Asy’ari menaruh perhatian dan menjadikannya menantu. Beliau dinikahkan dengan putri Kyai Hasim Asy’ari, Nyai Khoiriyah Hasyim, sosok ulama wanita yang juga luar biasa.

Selepas pernikahan, Kyai Hasyim memerintahkan Kyai Ma’shum untuk menunaikan haji dan mematangkan ilmunya di Haramain. Maka, kemudian boyonglah pasangan pengantin baru ini ke Makkah. Di Makkah, Kyai Ma’shum berguru kepada para ulama ternama seperti Syaikh Baqir al-Jukjawi, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syaikh Umar ibn Sholeh al-Samarani, dan Syaikh Mahfudz al-Termasi yang merupakan seorang pakar qiraah, disamping seorang musnid, faqih, dan ahli Hadis.

Pada tahun 1913 M, Kyai Ma’shum mulai membangun kediaman sendiri di Seblak, sebelah barat Pondok Tebuireng, dan mulai merintis pesantren sendiri. Walaupun tinggal di Seblak, Kyai Ma’shum masih tetap mengajar di Pesantren Tebuireng dan pada tahun 1916 M beliau menjadi kepala Madrasah Tebuireng.   

Meski disibukkan dengan aktivitas mengajar dan merintis pesantren, namun hal itu tidak menghalangi Kyai Ma’shum untuk berkarya di bidang tulis-menulis hingga menghasilkan karya monumental, al-Amtsilah at-Tashrifiyah dan beberapa kitab lain.

Kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyah barangkali merupakan karya Kyai Ma’shum yang sangat populer. Namun, beliau juga memiliki karya-karya lain yang juga fenomenal. Kitab Fathul Qodir adalah salah satu karya beliau yang tidak kalah luar biasa. Konon, inilah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia.

Di bidang astronomi (falak) Kyai Ma’shum pun memiliki karya yang tidak kalah mutunya. Ad-Durus al-Falakiyah dan Badi’u al-Mitsal fi Hisabi al-Sinin wa al-Hilal merupakan dua kitab karangan beliau dalam bidang ini. Jika kepiawian seseorang diukur dengan kemampuannya untuk menjelaskan hal-hal rumit dengan cara sederhana dan mudah dimengerti, maka Kyai Ma’shum adalah sosok yang kepiawainnya tidak diragukan. Dalam ad-Durus al-Falakiyah, Kyai Ma’shum menjelaskan ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriah, dan posisi matahari, secara sistematis dan konseptual sehingga mudah dipelajari dan dipahami.

Sebagai sosok kyai yang sangat alim, kepribadian kyai Ma’shum sangatlah bersahaja. Sepanjang hidup, beliau dikenal sangat dekat dengan kalangan biasa. Saking akrabnya dengan kalangan biasa, sampai-sampai banyak orang yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya beliau adalah seorang ulama besar. Hal yang sangat patut dijadikan teladan adalah sikap beliau yang memandang setiap orang lebih pintar dari beliau. Sikap rendah hati seperti ini menjadikan beliau tidak segan-segan bertanya dan belajar kepada siapapun, bahkan kepada para nelayan. Konon, berkat bertanya pada nelayan inilah beliau sangat terbantu dalam menyelesaikan kitab Badi’u al-Mitsal fi Hisabi al-Sinin wa al-Hilal.

Tidak banyak yang bisa diketahui mengenai perjalanan beliau. Bahkan, koleksi foto beliau pun sulit atau bahkan tidak ada. Riwayat menyatakan bahwa menjelang wafatnya, beliau membakar satu-satunya koleksi foto yang beliau miliki karena khawatir identitasnya diketahui banyak orang dan bisa menimbulkan berbagai penyakit hati seperti riya, ‘ujub, dan sombong.

Tanggal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kyai yang keilmuan dan sikap hidupnya sangat patut diteladani ini wafat setelah sebelumnya menderita penyakit paru-paru. Beliau wafat dalam usia yang terbilang masih muda, 40 tahun. Dengan demikian, selain melampaui popularitas beliau, usia karya-karya beliau jauh melampaui usia hidup beliau. Benarlah apa yang dikatakan orang, verba volent scripta manen. Apa yang diucapkan akan mudah lenyap, apa yang ditulis akan abadi. Semoga Allah membalas jasa-jasa beliau dengan sebaik-baik balasan. (ipg/dari berbagai sumber).

Sumber gambar: Majalah Tebuireng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: