Nyai Khoiriyah Hasyim: Sang Kyai Putri dari Jombang

“Sebagai generasi pelanjut sejarah, taklah ada jalan lain dalam pembinaan masyarakat Islamiah di bawah naungan tasamuh antar mazhab, kecuali belajar dan tekun.” (Nyai Khoiriyah Hasyim).

Barangkali, hingga abad ke-19 pendidikan bagi perempuan di Indonesia masih merupakan hal yang asing. Pada masa-masa itu, bahkan hingga masa pasca kemerdekaan, masih jarang sekali perempuan yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Meskipun barangkali ada, perempuan yang mengenyam pendidikan melebihi bangku sekolah dasar masih bisa dihitung dengan jari.

Demikian juga di kalangan pesantren. Hingga akhir abad ke-19, belum ada satu pun pesantren putri yang didirikan. Catatan sejarah menunjukkan baru pada abad ke-20, KH. Bisri Syamsuri mendirikan pesantren putri di Jombang. Inilah cikal-bakal berdirinya pesantren yang mengkhususkan diri untuk memberikan pendidikan, terutama agama, kepada para perempuan.

Meski lembaga pendidikan yang secara khusus memberikan pendidikan kepada para perempuan baru berdiri pada abad ke-20, namun tidak berarti bahwa para perempuan tidak mendapatkan pendidikan. Sesuai tradisi, lazimnya para kyai mendidik sendiri anggota keluarganya, termasuk kepada para anggota keluarga yang perempuan. Pola pendidikan berbasis keluarga inilah yang kemudian membentuk dan mematangkan para tokoh perempuan dari pesantren, di antaranya Ibu Nyai Khoiriyah Hasyim.

Ibu Nyai Khoiriyah Hasyim memang terlahir dari lingkungan yang tidak jauh dari pendidikan dan pengajaran agama. Ayahnya, K. H. Hasyim Asy’ari, saat itu merupakan sosok ulama besar di Indonesia. Aktivisme Kyai Hasyim tidak terbatas pada dunia pendidikan pesantren semata, namun juga dalam bidang organisasi dan kebangsaan.

Barangkali karena warisan dari ayahnya inilah Nyai Khoiriyah Hasyim menjadi sosok perempuan yang tidak hanya matang dalam persoalan ilmu keagamaan, namun juga aktivis perempuan yang turut aktif bergerak dalam bidang pendidikan. Bahkan, ruang lingkup aktivismenya ini tidak hanya terbatas di Indonesia saja, melainkan juga di Arab Saudi. Beliau merupakan salah satu pelopor berdirinya sekolah khusus perempuan di Arab Saudi.

Dilihat dari kondisi pada waktu itu, mendirikan sekolah perempuan di Arab Saudi merupakan suatu hal yang sangat luar biasa. Bahkan, ketika Ratu Iffat, Istri Raja Faisal, membuka sekolah khusus untuk perempuan pada tahun 1956 disambut protes besar-besaran oleh banyak kalangan di Arab Saudi. Bayangkan, seorang ratu pun diprotes. Jelas, membutuhkan keberanian besar untuk melakukan hal seperti itu.

Kiprah Nyai Khoiriyah Dari Jombang Hingga Makkah

Lingkungan dan orang tua memang memegang peran penting dalam tumbuh kembang seorang anak. Lingkungan yang baik dengan orang tua yang baik akan memberikan pengalaman baik kepada seorang anak. Demikian pula yang dialami oleh Nyai Khoiriyah Hasyim.

Lahir pada tahun 1906 dari seorang ulama besar, menempa kecintaan Khoiriyah pada pengetahuan. Meski di pesantren Tebuireng tidak mengadakan program pendidikan untuk perempuan, namun hal itu tidak menyurutkan niat Khoiriyah muda untuk mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan ayahnya, meski hal itu harus dilakukan dari balik tabir. Beliau memang dikenal memiliki ketekunan dan kemandirian tinggi dalam belajar dan tidak segan-segan untuk menanyakan apa yang tidak dipahami kepada ayahnya. Hal inilah yang membentuk kematangannya sebagai seorang perempuan.

Pada usia 13 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim memasuki babak baru dalam kehidupannya. Sesuai dengan tradisi waktu itu, beliau dinikahkan dengan Kyai Ma’shum Ali, salah seorang santri ayahnya. Kyai Ma’shum Ali boleh dikata adalah seorang bintang santri yang selain cerdas dan dikenal alim, juga merupakan keponakan dari Kyai Faqih Maskumambang, wakil Kyai Hasyim di NU. Maka, klop sudah. Nyai Khoiriyah Hasyim yang tekun dan cerdas menikah dengan Kyai Ma’shum yang alim.  

Setelah sempat menuntut ilmu di Haramain, Kyai Ma’shum dan Nyai Khoiriyah merintis sebuah pesantren di Seblak, sebelah barat Pesantren Tebuireng, pada tahun 1913. Di pesantren ini, pada tahun 1930, pasangan ini membuka Madrasah Salafiyah Syafiiyah tingkat ibtidaiyah. Dan, di pesantren inilah suaminya menulis karya-karya beliau yang legendaris hingga meninggal pada Bulan Ramadhan tahun 1933.

Ketika Kyai Ali meninggal, usia Nyai Khoiriyah Hasyim masih 27 tahun. Usia yang masih cukup muda untuk ukuran saat ini. Berbekal pengetahuan yang didapat dari ayah dan suaminya, Nyai Khoiriyah Hasyim kemudian memegang kendali pesantren Seblak. Ini merupakan hal luar biasa. Pada saat itu, adalah sangat jarang, bahkan hampir tidak ada, seorang perempuan memegang kendali kepengasuhan pesantren, yang berarti memimpin sebuah pesantren, mulai dari pengajian hingga pembinaan santri bukan sekedar menjadi pendamping pemimpin pesantren.  

Sekira 5 tahun dari wafatnya Kyai Ma’shum, Nyai Khoiriyah menikah lagi dengan Kyai Muhaimin, seorang kyai dari Lasem. Tidak lama tinggal di Seblak, Kyai Muhaimin berangkat haji sekaligus bermaksud mematangkan ilmu di Haramain. Oleh karena itu, Nyai Khoiriyah pun ikut pindah ke Makkah. Kepindahan ke Makkah ini membuka babak baru perjalanan Nyai Khoiriyah sebagai aktivis pelopor pendidikan perempuan di Makkah.

Ketika suaminya menggantikan ulama besar Nusantara Syekh Yasin al-Fadany menjadi kepala Madrasah Darul Ulum di Makkah, tercetus niat untuk mendirikan madrasah khusus putri. Pada 1942, niat ini terwujud dengan didirikannya Madrasah Banat. Pendirian madrasah ini dilatari oleh keprihatinan Nyai Khoiriyah akan minimnya fasilitas pendidikan untuk perempuan di Makkah. Saat itu, jangankan baca tulis, berhitung pun para perempuan di sana kesulitan. Uniknya, madrasah ini tidak hanya diikuti oleh para perempuan asal Indonesia yang mukim di sana, namun juga perempuan asli Makkah.

Sang Kyai Putri dari Jombang

Sekira 14 tahun dari pendirian Madrasah Banat, Kyai Muhaimin wafat. Tidak lama setelah itu, Nyai Khoiriyah pun memutuskan kembali ke Indonesia. Keputusannya untuk kembali ke Jombang ini di antaranya juga dilatari oleh ajakan Presiden Soekarno untuk mengembangkan pendidikan pesantren di Indonesia. Keputusannya inilah yang kemudian membuka lagi fragmen dalam kehidupannya sebagai kyai putri.

Kyai putri adalah julukan yang diberikan oleh adiknya sendiri, K. H. Yusuf Hasyim. Memang tepat kiranya julukan ini diberikan kepada Nyai Khoiriyah karena gerak aktivisme tidak terbatas di lingkungan perempuan saja. Barangkali banyak ibu nyai dengan aktivisme juga luar biasa di lingkungan pesantren, namun sosok yang aktivisme juga merambah dunia laki-laki, dengan menjadi salah satu sosok penting di dalamnya, barangkali bisa dihitung dengan jari. Salah satu dari yang sedikit itu adalah Nyai Khoiriyah ini.

Selain memimpin pesantren Seblak yang santrinya terdiri atas laki-laki dan perempuan, kiprah Nyai Khoiriyah di “dunia laki-laki” juga mengagumkan. Salah satunya adalah Nyai Khoiriyah merupakan penguji bagi para calon imam shalat Jum’at di Seblak dan sekitarnya. Beliau, terutama menguji bacaan para calon imam tersebut. Dan, karena, ketatnya standar yang beliau terapkan tidak semua calon imam lulus dari pengujian tersebut.

Kiprahnya di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama juga tidak kalah mentereng. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, beliau menjadi satu-satunya perempuan yang duduk di jajaran Bahsul Masail. Bahsul Masail merupakan lembaga yang membahas persoalan-persoalan keagamaan dan mengeluarkan keputusan berkenaan dengan persoalan keagamaan. Konon, selain di lembaga Bahsul Masail, beliau juga masuk jajaran syuriah PBNU, sebuah badan tertinggi di NU yang diisi oleh para kyai senior dan tidak pernah diisi oleh perempuan.

Nyai Khoiriyah juga termasuk sosok yang berpikiran progresif. Beliau pernah mengeluarkan pandangan yang menghebohkan mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Nyai Khoiriyah secara terbuka mengkritik kitab ‘Uqud al-Lujain yang menurut beliau terlalu memihak kepentingan laki-laki dan sulit diterapkan di Indonesia. Demikian juga dalam hal keluarga berencana (KB). Meski tidak secara tegas mendukung program tersebut, namun beliau pernah berpendapat bahwa KB boleh dilakukan sekiranya kesulitan untuk mendidik banyak anak.

Di pesantren Seblak, progresivitas pemikiran beliau diterjemahkan dalam berbagai kebijakan. Beliau merintis pendirian perpustakaan pesantren. Pada tahun 1965, beliau mengeluarkan kebijakan bercelana panjang bagi para santri putri di pesantren Seblak. Keputusan ini segera mengundang kritik dari banyak kalangan. Selain tidak lazim, karena pada waktu itu biasanya perempuan mengenakan jarik, juga dianggap tasyabuh dengan Belanda dan Jepang. Namun, beliau tetap pada keputusannya. Memakai celana, menurut beliau, lebih bisa menutup aurat daripada menggunakan jarik yang tidak bisa menutupi aurat ketika perempuan berjalan. Selain celana panjang, beliau juga menginsiasi apa yang disebut sebagai rubu’,  yaitu kerudung yang menutup kepala, leher, hingga sekitar dada.  

Banyak buah pikiran yang beliau tuliskan di berbagai surat kabar. Kutipan pembuka di awal tulisan ini adalah salah satu buah pikiran beliau yang ditulis dalam sebuah artikel berjudul “Pokok-Pokok Ceramah Pengertian Antar Mazahib dan Toleransinya”. Artikel tersebut diterbitkan oleh majalah Gema Islam pada Agustus 1962.

Tanggal 21 Ramadhan 1404 atau 2 Juli 1983, kiprah kyai putri ini berhenti. Setelah mengabdikan diri pada jalan dakwah dan pendidikan, Nyai Khoiriyah Hasyim wafat di RSUD Jombang. Banyak hal telah beliau lakukan. Jasanya tidak hanya diakui di lingkungan NU saja, namun juga di Arab. Kerajaan Arab Saudi pernah memberikan penghargaan kepadanya karena menjadi pelopor pendidikan perempuan. Demikian pula, namanya diabadikan menjadi nama kampus di Arab Saudi yang didirikan oleh Aminah Yasin Al-Fadani.

Semoga dari pesantren-pesantren putri di Indonesia bisa dilahirkan lagi sosok-sosok kyai putri seperti Nyai Khairiyah Hasyim. (IPG/dari berbagai sumber).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: