Sekitar Puasa I

Oleh : KH. Su’ada Adzkiya

Puasa adalah salah satu rukun Islam yang lima. Melakukan puasa tidak terlalu sulit, apalagi memberatkan. Puasa hanya perlu niat pada malam hari sebelum fajar dan sesudah itu tidak perlu melakukan apapun. Puasa hanya perlu tidak melakukan; yakni tidak melakukan makan, tidak melakukan minum, tidak melakukan hubungan suami-istri, dan tidak melakukan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Jadi, mudah bukan?

Betul, memang demikian. Itulah puasa yang cukup untuk memenuhi tuntutan melaksanakan rukun Islam. Artinya, bila seseorang telah melaksanakan puasa demikian, maka dia sudah tidak dituntut untuk melaksanakan puasa lagi.

Adapun kalau di samping itu kita juga mengharapkan pahala, maka lain lagi persoalannya. Tapi, kalau ada orang yang telah capai-capai melakukan puasa seperti diterangkan di atas, lalu tidak mengharapkan mendapat pahala puasanya, menurut hemat saya, ia adalah orang bodoh. Bagaimana tidak? Sama-sama tidak makan, jadi sama-sama lapar, sama-sama tidak minum, jadi sama-sama haus, dan juga sama-sama yang lain, tapi orang lain masih bisa mengharapkan pahala sementara orang ini tidak.

Lalu bagaimana? Kalau orang berpuasa dan mengharapkan puasanya, maka ia masih harus tidak melakukan yang lain-lain. Dalam salah satu hadis riwayat al-Bukhari dikatakan:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَ العَمَلَ بِهِ وَ الجَهْلِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِي أَن يَدَعَ طَعامَه وشرابَه

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta, mengamalkannya dan bersikap bodoh, maka Allah tidak butuh terhadap sikapnya meninggalkan makan dan minumnya (puasanya).”

Sementara, hadis Wasail menegaskan:

رب صائم ليس له من صيامه الا الظماء

“Berapa saja orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali haus.”

Dalam hadis Ad-Dailami dari Sahabat Anas R. A. dinyatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

خمس خصال يفطرن الصائم وينقض الوضوء الكذب والغيبة والنميمة والنظر بشهوة واليمين الكاذبة

“lima hal yang membatalkan pahala orang puasa dan pahala orang berwudhu: dusta atau bohong, menggunjing, mengadu-domba, melihat disertai syahwat, dan sumpah palsu.”

Mungkin ada yang berkata, “wah susah amat!” Kami tegaskan, “Tidak juga.” Rasulullah ﷺ telah memberi resep untuk kita, tidak hanya ketika kita berpuasa saja, namun berlaku terus untuk sembarang waktu dan tempat. Resep ini dijamin keampuhannya tinggal kita mau memanfaatkannya atau tidak. Apakah resep tersebut?

من كان يؤمن بالله واليوم الخر فليقل خيرا اوليصمت

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau (kalau tidak) diamlah.”

Berkatalah yang baik atau diam. Sangat sederhana dan dijamin pasti ampuh. Orang yang menggunakan resep ini pasti tidak akan dusta, pasti tidak akan ngrasani, bicara yang tidak baik tentang seseorang, pasti tidak akan mengadu domba dan mengada-ada, dan pasti tidak akan bersumpah palsu, karena dusta dan seterusnya itu bukan perkataan yang baik. Sehingga, dia akan memilih diam.

Saking ditekankannya peringatan bila tidak dapat berkata yang baik supaya diam sampai-sampai dikatakan bahwa tidur orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya itu dinilai sama dengan membaca tasbih. Al-Baihaqi dari Abdullah bin Abi Aufa meriwayatkan:

نومُ الصائمِ عبادةٌ وصمتُه تسبيحٌ وعملُه مُضاعفٌ ودُعاؤهُ مُستجابٌ وذَنبُه مَغفُورٌ

“Tidur orang berpuasa itu ibadah, diamnya itu bertasbih, amalnya dilipatgandakan (balasannya), doanya mustajab, dan dosanya diampuni.”

Apa yang kami kemukakan di atas adalah keutamaan diam bagi orang yang berpuasa. Lalu timbul pertanyaan, apakah karena itu kita seharian diam saja atau bahasa Jawanya jemblem saja?

 Terus terang, dibanding bicara yang tidak baik, maka diam seharian jauh lebih baik bagi orang berpuasa. Tapi apakah orang macam ini tidak merasa rugi? Apa sulitnya dalam keadaan normal, walau sedang berpuasa, kita berbicara, membuka mulut. Tentu saja, untuk berbicara yang baik-baik. Nah! Berbicara yang dijamin baik itu adalah berbicara yang berisi zikir yang dapat berwujud tahlil, tasbih, membaca shawalat, atau membaca al-Qur’an. Jadi, bagi orang yang berpuasa ketimbang diam saja karena menghindari berbicara yang tidak baik, mending untuk berzikir. Silakan pilih tahlil atau tasbih, atau membaca shalawat atau membaca al-Qur’an. Lebih-lebih beramal di bulan Ramadhan lain dengan di luar bulan Ramadhan.

 Tadi sudah disebutkan bahwa amal seseorang dilipatgandakan. Lebih tegas lagi dinyatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

“Barang siapa mendekatkan diri (kepada Allah) pada bulan Ramadhan dengan satu perbuatan baik, maka dia seperti orang yang melakukan satu ibadah fardhu di luar bulan Ramadhan. Dan, barang siapa dalam bulan Ramadhan melaksanakan satu ibadah fardhu maka seolah dia seperti orang yang melaksanakan tujuh puluh ibadah fardhu di luar bulan Ramadhan.”

Oleh karena itu, orang berpuasa jika tidak dapat berbicara yang baik lebih baik dia atau tidur. Karena diam dan tidur berarti tidak mengerjakan apa-apa, betapapun dapat dinilai merugi. Agar tidak merugi, maka jangan diam saja, tapi digunakan untuk berzikir, bertasbih, bershalawat, atau membaca Qur’an. Tentu saja tidak sehari penuh, tapi disesuaikan dengan kesempatan yang ada dari masing-masing orang.

Adapun kegiatan shalat tarawih tidak perlu disinggung di sini karena orang sudah berbondong-bondong melaksanakan. Bahkan, yang tidak melaksanakan dianggap tidak patut.

Kroya, 16 November 2001

KH. Su’ada Adzkiya, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Kroya & Rais Syuriah PCNU Cilacap.

Tulisan ini adalah transkrip dari khutbah beliau yang juga telah dibukukan dengan judul Mencari Akhirat Tidak Lupa Dunia. Info buku: mifdaputri@gmail.com/085641125630

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: