Sumbangan Ilmuwan Muslim Dalam Mencegah Covid-19

Hingga hari ini, Covid-19 atau Korona menjadi pandemi yang telah menginfeksi satu juta orang lebih dan menciptakan kepanikan global di seluruh wilayah dunia, termasuk di Indonesia. Di negara ini sendiri, Covid-19 dilaporkan telah menjangkiti 2 ribu orang lebih dengan rasio kematian mencapai 8-9 persen.

Di tengah wabah ini, ada tiga istilah yang begitu sering kita dengar: sabun, alkohol, dan karantina. Ketiga istilah ini menjadi sangat populer di tengah merebaknya wabah Korona karena memang ketiganya merupakan cara paling efektif pencengahan penyebaran wabah, sebelum vaksin ditemukan.

Jika merujuk pada catatan sejarah, ketiga istilah tersebut memiliki asal usul yang berakar pada Zaman Keemasan Islam. Sebuah zaman di mana peradaban Islam melahirkan para ilmuwan dengan karya-karya di berbagai bidang yang menjadi fondasi terbentuknya peradaban modern.

Sabun Sebagai Antiseptik

Belakang ini kita sering sekali mendengar himbauan untuk membasuh kedua tangan kita dengan sabun demi mencegah penyebaran virus Korona. Sejak awal mewabahnya virus Korona ini, sabun disarankan sebagai material pencegahan yang efektif sehingga pemerintah menghimbau untuk membasuh tangan secara teratur dengan menggunakan sabun.

Sebagai sebuah material, sabun ternyata diciptakan pertama kali di Timur Tengah pada sekitar abad ke-10 M, masa-masa yang lazim disebut sebagai Zaman Keemasan Islam. Adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (854-925) seorang dokter, kimiawan, sekaligus filsuf asal Persia yang mula-mula menulis resep/komposisi pembuatan sabun. Resep ini kemudian menjadikan Suriah sebagai eksportir utama sabun ke wilayah-wilayah dunia Islam lainnya serta ke Eropa. Pada abad ke-13, produksi sabun menyebar ke seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara dengan sumber-sumber yang ada di Fez, Nablus, Damaskus, dan Aleppo.

Alkohol Sebagai Disinfektan

Material yang juga menjadi populer di masa-masa sekarang ini adalah alkohol, zat utama yang digunakan dalam pembuatan jel antiseptik berbasis alkohol  atau yang lebih dikenal dengan nama hand sanitizer.

Sebenarnya, produksi awal alkohol sebagai minuman telah bermula pada tahun 2000 SM di peradaban Lembah Indus, namun penggunaan alkohol sebagai disinfektan bermula pada Zaman Keemasan Islam.

Dalam ensiklopedia kedokteran al-Hawy, al-Razi menyatakan bahwa alkohol digunakan sebagai anti septik pada luka setelah, selama, dan sebelum operasi. Metode disinfeksi ini pertama kali dikenalkan di Rumah Sakit Baghdad, sebuah rumah sakit yang didirikan pada 805 M oleh Khalifah Harun al-Rasyid.

Metode ini kemudian tersebar luas ke seluruh dunia karena berhasil meningkatkan rasio kehidupan pasien paska operasi. Oleh karena itulah kita mengenal kata alcohol dalam bahasa Inggris, atau alkohol dalam bahasa Indonesia, yang merupakan serapan dari kata bahasa Arab al-kuhul.

Karantina Untuk Mencegah Penyebaran Wabah

Sekira pertengahan Maret lalu, kita kerap mendengar istilah social distancing, physical distancing, isolasi, stay at home atau istilah semacam itu yang pada intinya adalah himbauan untuk melakukan penjarakan dengan lingkungan. Sejatinya, istilah-istilah tersebut merupakan bentuk ringan dari apa yang disebut dengan karantina.

Sama halnya dengan sabun dan alkohol sebagai disinfektan, karantina sebagai sebuah metode untuk mengontrol penyebaran wabah juga telah diterangkan dalam sebuah kitab berjudul Qonun al-Thib karya seorang ilmuwan Muslim bernama Ibnu Sina (980-1037).

Ibnu Sina adalah orang pertama yang menerapkan metode penghentian penularan wabah dengan cara isolasi selama 40 hari. Dia menyebut metode ini sebagai al-arba’iniyah (empat puluh), yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Venesia menjadi quarantena atau dalam bahasa Indonesia menjadi karantina.

Metode karantina menjadi sangat terkenal di Eropa pada abad ke-14 dan 15 ketika terjadi wabah Black Death. Istilah quarantena ini sendiri pada waktu itu merujuk pada sebuah periode selama 40 hari di mana kapal-kapal diisolasi sebelum para penumpang dan anak buah kapal bisa mendarat.

Keberhasilan metode ini dalam mengontrol penyebaran wabah kemudian membentuk istilah quarantine (ind: karantina), yaitu masa-masa seseorang menjauhkan diri dari pergaulan sosial untuk penyembuhan atau penghindaran penularan wabah, meski durasinya bisa bermacam-macam, tidak lagi 40 hari seperti awalnya. (IPG/dari berbagai sumber)

Satu tanggapan untuk “Sumbangan Ilmuwan Muslim Dalam Mencegah Covid-19

  • 8 April 2020 pada 12:03
    Permalink

    Tulisan sangat menarik. Jika dirunut sejarahnya, masa yang disebut sebagai zaman keemasan Islam dengan tokoh2 sebagaimana disebut adalah zaman ketika Mu’tazilah menjadi madzhab negara. Ini menjadi menarik karena di satu sisi kita menyebut Mu’tazilah sebagai madzhab yang tidak ahlussunnah, di sisi lain mengakui zaman itu sebagai zaman keemasan Islam.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: