Seluk-Beluk Dalil

Dewasa ini, pernyataan mengenai dalil menjadi hal yang sering dikemukakan dalam perdebatan-perdebatan berkaitan dengan persoalan tertentu. Pernyataan semacam, “mana dalilnya? Kalau tidak ada dalilnya ya tidak usah diamalkan” sangat lazim kita dengar. Jika pun kemudian diajukan argumentasi, diskusi pun akan beralih pada perdebatan mengenai ada atau tidaknya ayat atau hadis yang merujuk masalah tersebut. Jika tidak ada, maka persoalan tersebut tidak bisa diterima.

Memang benar bahwa segala hal yang kita lakukan dalam kaitan dengan ibadah, muamalah, munakahah, dan sebagainya membutuhkan satu landasan yang kokoh sehingga apa yang kita lakukan tersebut menjadi shahih. Namun, untuk mengetahui sesuatu benar-benar ada dalilnya atau tidak, kita harus masuk ke dalam kajian hukum Islam dan mencari tahu apakah definisi dalil itu? Apa hakikatnya dan apa saja yang bisa dijadikan sebagai landasan dalam menentukan hukum syariat? Karena tanpa mengetahui dengan jelas kita akan terperosok ke dalam kegelapan dan kesesatan.

Dalam ilmu ushul fiqih, dikenal apa yang disebut sebagai mashadir al-syariah. Secara harfiah, kata ini berarti “sumber-sumber hukum syariat.” Sedangkan secara istilah, bisa didefinisikan sebagai dalil-dalil syariat untuk menggali hukum-hukum syariat.

Para ulama mengklasifikasi mashodir syariat tersebut berdasarkan dua sudut pandang. Sudut pandang pertama berhubungan dengan kesepakatan ulama mengenai apa yang bisa dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Hal ini meliputi sumber hukum yang telah disepakati semua ulama yakni al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Kemudian sumber yang disepakati mayoritas (jumhur) ulama yakni ijmak dan qiyas. Terakhir, sumber hukum yang menjadi perdebatan para ulama, bahkan mayoritas ulama, yakni urf (tradisi), istishhab, istihsan, mashlahah mursalah, syar’u man qablana, dan mazhab para sahabat.

Sudut pandang kedua berkenaan dengan cara pengambilan dan perujukan. Ini meliputi sumber hukum yang dirujuk secara dogmatis atau apa yang sering kita sebut sebagai dalil naqli, yakni al-Qur’an dan Sunah, termasuk juga di dalamnya adalah ijmak. Kemudian ada juga sumber hukum yang dirujuk melalui penalaran logis atau yang lazim kita sebut sebagai dalil aqli. Yang termasuk dalam dalil aqli adalah istihsan, mashlahah mursalah, dan ihtisab.

Sampai di sini, menjadi jelas bahwa apa yang disebut sebagai mashodir syariah atau yang dalam pergaulan umum sering disebut sebagai dalil, mencakup pembahasan yang tidak sederhana dan rumit. Pembahasan semacam itu bisa disimak dan ditelurusi dalam kajian mengenai hukum Islam. Dan, karena bidang hukum Islam telah menjadi sebuah bidang keilmuan, maka seseorang yang ingin memasuki pembahasan mengenai hukum Islam atau menjadi ahli dalam bidang tersebut harus memahami fan (atau cabang) dari keilmuan tersebut lengkap dengan epistimologi, etimologi, dan aksiologi bidang-bidang tersebut beserta sejarah dan perdebatan-perdebatan yang berlangsung di dalamnya.

Dalil Bagi Orang Awam

Segala sesuatu ada ahlinya. Dan, seseorang yang ahli di suatu bidang belum tentu ahli di bidang lain. Lazimnya, yang awam (atau tidak ahli) mengikuti opini dan pendapat yang ahli. Dokter adalah ahli di bidang kesehatan, namun bukan ahli bangunan sehingga dalam soal bangunan dokter manut dengan arsitek atau insinyur teknik sipil. Masing-masing harus manut pada ahlinya. Seorang dokter yang tidak manut pada arsitek dan insinyur teknik sipil dalam hal bangunan, tentu akan menimbulkan kekacauan. Demikian juga, arsitek yang tidak manut dokter dalam bidang kesehatan, juga akan memicu kekacauan atau bahkan bencana. Demikianlah, bagi mereka yang tidak ahli dalam suatu bidang tertentu, cukuplah manut (taklid) kepada orang-orang di bidang tersebut agar tidak memunculkan kekacauan dan bencana.

Hal seperti di atas bisa kita analogikan dalam bidang hukum Islam. Seorang yang bukan ulama tentu saja tidak diperbolehkan untuk memberikan opini, apalagi yang memiliki konsekuensi hukum, berkenaan dengan persoalan keagamaan tertentu. Karena tanpa keahlian, orang seperti ini hanya akan menyebabkan kekacauan dan kebingungan.

Demikian juga hal dalam soal dalil. Apakah seorang awam harus mengetahui seluk-beluk pengambilan hukum dan sumber-sumbernya? Tentu saja tidak. Dalam hal ini, orang awam cukuplah berpegang kepada pendapat dari ulama yang dia percayai. Pertama-tama, karena hal semacam itu sudah mencukupi. Dan kedua, orang awam tidak memiliki keahlian dalam menganalisa dalil-dalil syariat.

Mengenai hal itu, menarik untuk mengetengahkan apa yang pernah dinyatakan oleh Imam as-Syathibi dalam kitabnya, al-Muwafaqat (lihat gambar ilustrasi tulisan ini). Beliau berpendapat bahwa fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. Kemudian, Imam as-Syathibi melanjutkan, “ada atau tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faidah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu.” (Juz 5 halaman 336-337)

Dengan demikian, kiranya cukuplah bagi orang awam untuk merujuk kitab-kitab karya para ahli fiqih seperti kitab-kitab yang lazim diajarkan di pesantren untuk dijadikan sebagai landasan (dalil) atau jika tidak memiliki kecakapan berbahasa Arab yang mencukupi, cukuplah untuk bertanya dan mengikuti pendapat para kyai setempat. Karena apa yang para kyai sampaikan pada dasarnya memiliki rantai silsilah yang jika kita telusuri akan sampai juga pada al-Qur’an atau sunah Nabi SAW. Yang lebih penting dilakukan tentu saja adalah berkarya di bidang-bidang yang menjadi keahlian kita masing-masing. wallahu a’lam (IPG).

 

Satu tanggapan untuk “Seluk-Beluk Dalil

  • 26 September 2019 pada 09:25
    Permalink

    Tulisan bagus banget. Membuka perspective baru tentang siapa yang harus berdalil. Tulisan bagus tetapi kenapa penulisnya tidak ditampilkan ?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: