Bid’ah Menurut Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari

Memasuki dekade kedua 2000-an ini, kita sering (bahkan sangat sering) mendengar kata-kata bid’ah. Meski sebenarnya bukan merupakan pembahasan yang baru, namun persoalan ini mendapatkan perhatian luas dari banyak kalangan umat Islam, sehingga banyak dibahas dan kemukakan lagi di tengah-tengah zaman ini. Tak jarang, pembahasan tersebut tidak hanya menimbulkan perdebatan sengit namun juga pertikaian yang diekspresikan dengan saling cela dan hina sehingga justru kontra produktif bagi umat Islam itu sendiri.

Sebenarnya perdebatan dan pertikaian tersebut bisa diminimalisasi seandainya saja setiap perdebatan dilakukan dengan niat yang ikhlas, metode berpikir yang sahih, dan maroji’ (referensi) yang valid yang bisa digunakan sebagai hujah.

Di antara banyak referensi yang membahas tentang seluk-beluk bid’ah, rasa-rasanya patut diketengahkan di sini sebuah kitab yang disusun oleh Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari yang berjudul Risalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dalam kitab ini, beliau menjelaskan apa saja ukuran yang bisa digunakan untuk menera sebuah perkara bid’ah atau bukan, serta jenis dan ragam bid’ah dengan penjelasan yang ringkas dan jelas. Berikut beberapa pokok yang beliau kemukakan dalam membahas persoalan bid’ah.

Timbangan Bid’ah

Untuk mengukur sebuah perkara masuk dalam kategori bid’ah atau bukan, beliau mengetengahkan pendapat Syaikh Zaruq mengenai tiga macam ukuran yang bisa digunakan untuk menera sebuah perkara tergolong bid’ah atau bukan.

Pertama, perkara tersebut harus dilihat dari dalil-dalilnya Jika didukung oleh sebagian besar syari’at dan pokok-pokoknya, maka perkara itu bukan bid’ah. Namun jika ditolak, maka perkara itu adalah batil dan sesat. Sementara jika dalil-dalil yang ada tidak memberikan kepastian hukum bagi perkara tersebut, atau perkara tersebut diselimuti syubhat dan dalil-dalil yang ada terlihat sama, maka dalil-dalil itu harus ditimbang. Dalil yang lebih kuat dijadikan sebagai rujukan.

 Kedua, dengan cara mempertimbangkan kaidah-kaidah yang diakui oleh para imam dan generasi salaf umat yang mengikuti jalan sunnah. Perkara yang bertentangan dengan kaidah-kaidah tersebut tidak boleh dijalankan. Perkara yang sesuai dengan prinsip-prinsip mereka adalah benar, meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara mereka berkenaan dengan perkara tersebut, baik dalam tataran cabang maupun pokok.

Salah satu kaidah kalangan salaf menyatakan bahwa sesuatu yang diamalkan oleh generasi salaf dan diikuti oleh generasi khalaf tidak boleh disebut bid’ah atau tercela. Sedangkan sesuatu yang sama sekali tidak dilakukan oleh mereka, maka tidak dapat disebut sunnah atau terpuji. Adapun mengenai perkara yang landasan pokoknya telah ditetapkan, tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka pernah melakukannya, para ulama berbeda pendapat dalam persoalan ini.

Imam Maliki menyatakan bahwa perkara tersebut adalah bid’ah. Sebab, kalangan salaf tidak mungkin meninggalkan sesuatu tanpa alasan tertentu yang memerintahkan demikian. Namun Imam asy Syafi’i memiliki pandangan berbeda. Meskipun tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf, perkara tersebut tidak bisa disebut bid’ah. Sebab, boleh jadi mereka (ulama salaf) tidak melakukannya karena adanya udzur (halangan) pada waktu itu, atau karena ada alternatif lain yang lebih baik.

Selain itu, para ulama juga berbeda pendapat mengenai perkara yang tidak ada dalil larangannya atau syubhat-nya. Imam Malik berpendapat perkarat tersebut adalah bid’ah. Sementara Imam asy Syafi’i, menyatakan bukan bid’ah. Imam Asy Syafi’i mendasarkan pendapatnya pada sebuah Hadis yang menyatakan: وَمَا تَرَكْتُهُ لَكُمْ فَهُوَ عَفْوٌ.

Inilah yang menjadi dasar perbedaan pendapat di kalangan ulama. Persoalan seperti pengadaan kantor administrasi, berdzikir dengan suara keras, berkumpul dan berdo’a (bersama) merupakan perkara yang diperselisihkan oleh mereka. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena di dalam hadis terdapat anjuran untuk melakukannya, tetapi tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa hal itu pernah dilakukan oleh generasi salaf.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut Hadrotus Syaikh menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perkara seperti dijelaskan diatas tidak boleh dikatakan sebagai pelaku bid’ah oleh orang yang memiliki pandangan berbeda. Seseorang juga tidak boleh menyatakan bahwa pendapat yang berseberangan dengannya adalah batil, karena adanya syubhat. Seandainya melontarkan tuduhan pelaku bid’ah dan pelaku kebatilan semacam itu boleh dilakukan, konsekuensinya adalah sama dengan menganggap seluruh umat ini telah melakukan bid’ah.

Berkenaan dengan persoalan furu’ semacam ini, Hadrotus Syaikh menyatakan bahwa sebaiknya kita memandang bahwa terdapat satu atau lebih kebenaran sembari memberikan contoh mengenai perintah Nabi SAW kepada para sahabat ketika hendak menuju pemukiman Bani Quroidzoh, “Jangan sekali-kali seseorang (di antara kalian) menunaikan Shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraidzah”.

Dalam memahami pesan yang terkandung dari hadis ini, para sahabat memiliki perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa maksudnya adalah mereka harus bergegas dan mereka menunaikan shalat ashar di tengah-tengah perjalanan. Sebagian sahabat yang lain memahami bahwa maksud dari hadis tersebut adalah mereka diperintahkan untuk menunaikan shalat Ashar di pemukiman Bani Quraidzah. Dengan pemahaman seperti ini mereka tidak menunaikan shalat Ashar di perjalanan.

Ternyata, Rasullah SAW membenarkan (atau tidak menyalahkan) kedua kelompok sahabat tersebut. Menurut Hadrotus Syaikh ini menunjukkan bahwa adanya keabsahan mengamalkan apa yang dipahami dari syari’ (pembuat syari’at) manakala tidak didasarkan pada bisikan hawa nafsu.

Ketiga, pemilahan yang didasarkan pada saksi-saksi hukum. Parameter ini sifatnya terperinci. Parameter ini terbagi menjadi enam macam sebagaimana macam-macamnya hukum syariat, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Setiap hal baru yang condong ke ashal (hukum) tertentu, tidak jauh, dapat digabungkan (baca: disamakan hukumnya) dengan ashal tersebut. Sedangkan yang tidak adalah bid’ah. Parameter inilah yang dijadikan sebagai pedoman oleh banyak ulama.

Macam-Macam Bid’ah

Setelah menguraikan timbangan atau parameter yang bisa digunakan untuk menera sebuah perbuatan sebagai bid’ah atau bukan, Hadrotus Syaikh selanjutnya menguraikan macam dan ragam bid’ah dengan mengutip pendapat Syaikh Zaruq. Menurut beliau bid’ah bisa dibagi menjadi tiga macam, yakni:

  1. Bid’ah Shorihah (bid’ah yang nyata). Yaitu perkara yang ditetapkan tanpa dalil syar’i dan berseberangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh dalil syar’i, baik wajib, sunnah, mandub maupun lainnya. Perkara semacam itu berpotensi mematikan sunnah Nabi SAW atau membatilkan perkara yang benar. Ini merupakan jenis bid’ah yang paling buruk. Meskipun memiliki seribu sandaran dari dalil-dalil pokok (ushul) maupun dalil-dalil cabang (furu’) tetap tidak dapat diakui keabsahannya.
  2. Bid’ah Idlofiyah (bid’ah yang ditambahkan). Yaitu perkara yang disandarkan kepada suatu perkara yang jika perkara tersebut dapat diterima, maka tidak sah mempertentangkan statusnya sebagai sunnah atau bukan bid’ah tanpa khilaf atau menurut khilaf yang telah disebutkan di muka.
  3. Bid’ah Khilafiyah (bid’ah yang diperselisihkan). Yaitu perkara yang didasarkan pada dua dalil yang saling tarik-menarik. Bagi yang memegang teguh dalil pertama, perkara tersebut adalah bid’ah. Sebaliknya, bagi yang memegang teguh dalil kedua yang berseberangan, perkara tersebut adalah sunnah. Contoh-contoh bid’ah semacam ini adalah pembuatan kantor administrasi dan dzikir berjamaah yang telah disebutkan di muka.”

Hadrotusy Syaikh menyatakan bahwa Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru ke dalam hukum-hukum yang lima, antara lain:

  1. Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah yang bisa membantu memahami syariah.
  2. Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
  3. Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
  4. Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
  5. Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”

Ketika memberikan keterangan mengenai hadis Nabi SAW yang berbunyi, “Barangsiapa yang mengadakan hal baru atau melindungi orang yang mengadakan hal baru, ia akan mendapatkan laknat dari Allah,”Al Allamah Muhammad Waliyuddin Asy Syabtsiri–dalam Syarah al Arba’in Nawawiyah–menyatakan bahwa makna hadis ini mencakup segala bentuk akad-akad fasidah (rusak), menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan kasus lainyang menyimpang dari ketentuan syara’.

Sedangkankan segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat perbandingan yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya, kecuali sebatas persangkaan mujtahid, seperti menulis Mushaf, meringkas pendapat-pendapat imam madzhab, menyusun kitab nahwu dan ilmu hisab, tidaklah masuk dalam cakupan makna hadis tersebut.

Sebagai ringkasan, Hadrotus Syaikh mengakhiri uraiannya dengan menyatakan, “Jika Anda memahami segala yang telah dijelaskan di atas, maka Anda akan mengetahui bahwa hal-hal yang selama ini dicap sebagai bid’ah seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil setelah kematian, ziarah kubur dan lain-lain, sebenarnya bukanlah bid’ah.”

(Disarikan dari Kitab Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah Karya Hadroyus Syaikh Hasyim Asy’ari)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: