Menyikapi Berita Negatif*
Oleh: K. H. Su’ada Adzkiya
Akhir-akhir ini yang namanya desas-desus, isu, kabar burung, hoax atau kabar palsu dan entah apalagi namanya, seringkali disikapi terlalu lugas dan terburu nafus. Padahal, dari namanya saja sudah kentara bahwa hal seperti itu perlu dicermati, atau dalam bahasa agamanya perlu adanya tabayyun. Sudah sering terbukti bahwa sas-sus dan isu yang kurang dicermati hanya akan membawa kerugian, baik moril maupun material, harta benda bahkan jiwa.
Peristiwa di Banyuwangi yang telah lalu dan semacamnya, yang sebagian besar telah kita baca di surat kabar atau mendengarnya dari radio dan televisi, menjadi bukti kejamnya berita negatif. Hanya karena seseorang diisukan sebagai tukang santet dan tidak dicermati lebih dahulu, puluhan atau ratusan orang beramai-ramai membantai orang yang diisukan tersebut. Akibatnya, ada ratusan orang yang menjadi korban tindakan yang hanya didasarkan pada isu. Contoh yang dekat pun ada di sekitar kita. Seorang warga tetangga desa kita juga mengalami hal yang mirip. Hanya karena isu yang sulit dibuktikan kebenarannya, ia harus kehilangan harta benda yang ludes dibakar massa.
Lalu apakah Islam merestui tindakan-tindakan yang dilakukan hanya berdasar isu belaka? Apakah Islam mentolerirnya? Tentu saja, tidak! Oleh karena itu, mari kita telusuri dalil dan petunjuk Islam mengenai hal itu. Petunjuk ini dirumuskan oleh seorang ulama ahli hadits al-Faqih Nashr bin Muhammad al-Samarqandi.
Untuk menghindari efek buruk berita negatif, maka apabila ada seseorang datang dan memberitahu Anda bahwa ada orang yang berbuat atau berbicara tidak baik pada Anda, ngrasani Anda, maka Anda harus melakukan enam hal berikut.
Pertama, hendaknya Anda tidak menerima atau membenarkan omongannya begitu saja karena orang tersebut pada dasarnya membawa rasa permusuhan antara Anda dengan orang yang diberitakan kepada Anda. Dalam bahasa Arab orang semacam ini disebut sebagai “an-Nammaam,” tukang adu domba, atau penghasut. Padahal menurut Islam, kesaksian dan perkataan seorang nammaam tidak boleh diterima. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujarat: 6)
Oleh karenanya, sangat keliru apabila berita mengenai ketidakbaikan seseorang kita terima begitu saja atau dicari kejelasannya tapi tidak tuntas, lebih-lebih jika ditanggapi dengan perbuatan yang bersifat main hakim sendiri.
Islam tidak dapat menolerir semuanya itu. Menurut Islam, siapapun, baik individu maupun massa, bila melakukan tindakan main hakim sendiri, maka dia atau massa tersebut, harus ditindak secara hukum oleh penguasa atau aparatnya.
Kedua, Anda justru harus mencegah orang yang datang tersebut di atas agar tidak berbuat demikian karena apa yang dilakukannnya adalah perbuatan munkar sedangkan mencegah yang munkar itu wajib hukumnya. Allah berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Kamu sekalian adalah umat/kelompok orang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Kamu perintahkan yang ma’ruf dan kamu cegah yang munkar. (Ali Imran: 110)
Dengan kata lain, agar kita menjadi umat terbaik mestilah kita dahulukan amar ma’ruf, memerintahkan kebaikan dan nahi munkar, mencegah yang munkar, mencegah perbuatan yang menyimpang.
Ketiga, hendaknya Anda tidak menyukai orang yang datang tersebut karena Allah. Artinya, Anda tidak menyukainya bukan karena tersinggung atau lainnya, namun benar-benar karena Allah, benar-benar karena tidak senang akan pelecehan yang dilakukan orang itu terhadap Allah dengan kedurhakaannya itu. Dalam hal ini, tidak menyukai, atau lebih tegasnya, membenci, orang yang durhaka semata karena kedurhakaannya itu wajib hukumnya karena Allah juga membencinya.
Keempat, hendaknya Anda tidak memiliki persangkaan buruk terhadap orang yang diberitakan itu. Sebab, buruk sangka, khususnya terhadap sesama Muslim itu haram hukumnya. Allah berfirman:
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Sesungguhnya sebagian sangkaan itu dosa.” (al-Hujarat: 12)
Dalam hal ini adalah sangkaan yang buruk atau buruk sangka yang saat ini mulai populer dengan istilah Arabnya, سوء الظن
Kelima, hendaknya Anda tidak memata-matai orang yang diberitakan kepada Anda, tidak mengintai-intai orang tersebut karena perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah. Allah berfirman:
وَلَا تَجَسَّسُوا
“janganlah kamu memata-matai orang lain.” (al-Hujarat: 12) Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.
Keenam, apa yang tidak Anda sukai dari yang datang kepada Anda itu janganlah Anda perbuat. Jadi, Anda sama sekali tidak perlu ikut-ikutan memberitakan apa yang diberitakan orang itu. Dengan demikian, Anda tidak ikut-ikutan menyebarluaskan isu atau desas-desus. Jika semua penerima berita ketidakbaikan bersikap seperti Anda, artinya tidak ikut-ikutan menyebarluaskan isu dan desas-desus, maka berita negatif tidak akan tersebar luas. Dengan demikian, secara tidak langsung Anda telah menangkal penyebab keresahan masyarakat. Anda telah membantu menciptakan ketenangan masyarakat. Sehingga kerja mereka, yang sekarang disebut sebagai provokator, penyebar hoax, buzzer, tidak akan berhasil dan muaranya kerusuhan massal pasti tidak akan ada.
Hal yang perlu diingat, ketika Anda tidak ikut-ikutan memberitakan sebuah kabar negatif, itu berarti Anda menghindari dua dosa sekaligus. Pertama, dosa menggunjing atau ngrasani seandainya berita yang Anda terima itu benar. Kedua, dosa memfitnah orang seandainya berita yang Anda terima tidak benar.
أقول قولى هذا واستغفر الله العظيم
Kroya, 5 Februari 1999.
*Kutipan khutbah Jum’at yang pernah disampaikan di Masjid Miftahul Huda Kroya.