Mengelola Konflik
(Pengasuh PP. Miftahul Huda Kroya dan Rois Syuriah PCNU Cilacap)
Dalam surah Yunus ayat 10, Allah berfirman:
وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلَّا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا
Artinya: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.”
Dalam surah al-Maidah ayat 48, Allah berfirman:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
Artinya: “Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja.
Selain itu, surat an-Nahl 93 disebutkan hal yang sama, bahkan ditambahkan dengan:
وَلَٰكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Artinya: “tetapi Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (An-Nahl: 93).
Sementara dalam ayat 118 surat Huud disebutkan:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
Artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”
Menurut ayat-ayat di atas, pada awalnya semua manusia adalah satu umat saja lalu manusia berselisih. Sekiranya Allah menghendaki, maka Allah akan menjadikan satu umat saja. Dalam hal ini, kita bisa menarik pelajaran bahwa memang Allah menghendaki adanya perbedaan di antara kita. Allah tidak menghendaki kita serba sama, serba satu, di antara kita. Karena itu, kita saksikan Allah menjadikan satu berbeda dari tempat lainnya, satu waktu berbeda dari waktu yang lain, satu suku berbeda dari suku yang lain, dan seterusnya.
Surat al-Hujarat: 13 menyatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bermacam bangsa dan berbagai suku, supaya kamu saling mengenal.” Saling mengenal, saling mengerti, dan saling memberikan pengertian.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan apa saja adalah sunnatullah, hukum alam. Andainya Allah tidak menghendaki adanya perbedaan, mudah saja bagi Allah untuk menjadikan kita semua tidak berbeda.
Ketika kita telah mengetahui hal ini, maka kita tidak perlu terlalu merisaukan adanya perbedaan toh itu adalah sunnatullah. Sudah menjadi ketentuan yang tidak mungkin kita ubah. Sebaliknya, yang perlu kita risaukan adalah keberadaan orang-orang yang tidak memahami hal ini, artinya sulit menerima adanya perbedaan bahkan suka memaksakan kehendak agar orang lain sama dengan dirinya. Ringkasnya, kita tidak perlu risau terhadap perbedaan yang kita risaukan adalah mereka yang tidak dapat mengelola perbedaan.
Perbedaan, khususunya perbedaan pendapat atau pandangan, jika tidak dikelola, tidak disikapi dengan baik sering menimbulkan hal-hal yang negatif. Sebaliknya, bila disikapi atau dikelola dengan baik akan banyak manfaat yang bisa kita dapatkan. Namun, biarlah itu menjadi urusan orang-orang pintar. Tentu saja, itu bukan berarti bahwa kita yang tidak pintar ini tidak dapat memanfaatkan ajaran tersebut.
Maksud saya begini. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar seseorang yang kita kenal, memiliki pendapat yang berbeda dengan kita. Beda pendapat berarti ada pikiran atau tindakan atau sikap orang tadi yang kurang dapat kita terima. Seandainya hal ini terjadi, sikap paling baik yang kita lakukan adalah langsung meminta penjelasan pada yang bersangkutan. Atau dalam bahasa sekarang disebut sebagai klarifikasi. Dengan demikian, kita akan bisa mendapatkan penjelasan dari orang yang paling bersangkutan atau berkepentingan. Dengan itu pula, kemungkinan untuk salah informasi dan salah tanggap semakin kecil.
Sayangnya, dalam hal ini kebiasaan kurang baik bahkan salah yang lebih sering kita lakukan. Pikiran atau sikap atau tindakan orang lain yang kurang dapat kita terima tidak langsung kita bicarakan dengan orang yang bersangkutan, melainkan justru kita bicarakan dengan orang lain yang sering kali tidak ada kaitannya sama sekali, atau orang lain yang jelas-jelas tidak akan membantu menyelesaikan masalah.
Kebisaan seperti itu, di samping kurang baik, bahkan salah, sering berdampak negatif dunia-akhirat. Dampak negatif untuk akhirat kita adalah kita telah berdosa karena kita telah menggunjing orang, ngrasani orang, itu jika apa yang kita katakana benar. Jika apa yang kita katakana tidak benar, maka lebih parah lagi, karena kita telah melakukan buhtan, yaitu fitnah. Dan anehnya ini jarang sekali disadari orang, padahal keduanya betul-betul dosa.
Dampak negatif di dunia yang paling ringan adalah kebiasaan itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Ini berarti perbuatan kita sia-sia. Ini adalah yang paling ringan. Padahal, perbuatan itu malah sering menimbulkan salah paham. Sering orang yang kita bicarakan merasa dilecehkan di hadapan orang. Dan perasaan demikian itu wajar karena kalau orang yang membicarakannya beritikad baik, mestinya tidak perlu berbicara kepada sembarang orang, lebih baik langsung kepada yang bersangkutan.
Memang, harus diakui banyak alasan bisa dikemukakan untuk berbuat demikian, untuk membicarakan pikiran, sikap, atau tindakan orang lain yang kita kenal yang tidak bisa kita terima. Alasan yang sering dikemukakan antara lain adalah khawatir membangkitkan amarah, atau rasa ewuh pekewuh, segan, malu, dan lain-lain.
Namun, kalau kita mau sedikit berpikir, maka akan segera tampak bahwa asalan-alasan tersebut tidak pada tempatnya. Jika memang kita benar-benar khawatir membangkitkan amarah, atau ewuh pekewuh, atau segan, malu, atau memunculkan perasaan tidak enak pada yang bersangkutan, maka bagaimanapun tetap lebih baik tidak membicarakannya sama sekali. Sebab begitu pembicaraan lepas, maka sulit dijamin bahwa pembicaraan kita tidak akan sampai kepada yang bersangkutan.
Oleh karena itu, sekaligus sebagai pengunci khutbah ini, kami sampaikan sebuah hadis pendek yang mudah untuk diingat:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا اوليصمت
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berbicara baik dan (kalau tidak bisa) hendaknya ia diam.
أقول قولى هذا واستغفر الله العظيم
Kroya, 11 Maret 1999/23 Dzulqo’dah 1419
**Kutipan khutbah Jum’at yang pernah disampaikan di Masjid Miftahul Huda Kroya.