Pidato Grand Syaikh al-Azhar di Portugal (2018)
Bismillâhirrahmânirrahîm
Sesungguhnya pidato ini, yang menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi saya —pada hari ini— untuk menyampaikannya di hadapan hadirin sekalian, datang dalam rangkaian kegiatan yang menjadi tanggung-jawab Al-Azhar Al-Syarif dan Dewan Cendekiawan Muslim dalam upayanya yang sungguh-sungguh untuk menetapkan prinsip “Dialog Timur dan Barat” dan upaya untuk menerapkannya di muka bumi, di berbagai ibukota negara-negara Eropa, Afrika dan Asia.
Dan tujuan dari kegiatan ini adalah membentangkan jembatan perkenalan peradaban antara seseorang dengan saudaranya sesama manusia, meski terdapat banyak perbedaan di antara keduanya, baik perbedaan ras, bahasa, keyakinan, agama dan karakteristik budaya serta adat-istiadatnya. Hal itu dapat terwujud dengan cara menegaskan poin-poin kesamaan keagamaan —yang itu sangatlah banyak!— di antara para pemeluk agama-agama samawi, bahkan di antara orang-orang yang tidak memeluk agama samawi sekalipun, yang mana mereka menghormati seluruh agama dan mengetahui peranan pentingnya dalam mengatur perjalanan dunia modern ini, serta mengembalikannya ke arah yang benar, setelah hampir saja kehilangan “kompas” dan tersesat, bahkan hampir saja terjerumus kepada hal yang menyerupai “bunuh diri moral”, tenggelam dalam kekacauan umum yang barangkali tidak dikenal dalam sejarah kemanusiaan sebelumnya.
Hadirin yang terhormat!
Barangkali semua sepakat, baik masyarakat Timur maupun Barat, bahwa dunia kontemporer kita —saat ini— mengalami berbagai krisis yang mencekik, utamanya: krisis ekonomi yang mengakibatkan semakin merajalelanya kemiskinan, kelaparan, pengangguran para pemuda dan lilitan hutang, serta kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin yang semakin melebar, krisis lingkungan, krisis politik internasional kontemporer dan dampak pahitnya, yaitu: menumbuhkan perselisihan, polarisasi internasional dan perebutan hegemoni, “tersebarnya kekacauan, keretakan keluarga dan marjinalisasi wanita,”[1] juga krisis-krisis serta penyakit-penyakit moral, sosial dan kemanusiaan lainnya yang menyebabkan manusia abad 21 berada dalam keputus-asaan dan frustasi, merusak kebahagiaan hidupnya, ketenangan pikirannya dan ketenteraman hatinya.
Krisis-krisis ini mendorong para cendekia dan pemikir Barat serta tokoh agama dan kaum inteleknya untuk mengamati peringatan-peringatan ini, yang kini tengah berkumpul di langit dunia layaknya awan-awan hitam yang berkumpul memberi peringatan akan terjadinya kehancuran dan kebanjiran yang menenggelamkan. Mereka kembali meninjau dan mengadakan konferensi-konferensi internasional, di antaranya yang utama adalah Konferensi Agama-agama Dunia ke-2, di mana para perwakilan dari berbagai agama menyeru keharusan apa yang disebut dengan “Etika Internasional” untuk membangun tatanan dunia baru yang dapat mengeluarkan kita dari krisis ini dan tatanan yang terbangun atas petunjuk-petunjuk permanen, yaitu: “Berkomitmen untuk menerapkan budaya tanpa kekerasan, menghormati seluruh makhluk hidup, budaya solidaritas, sistem ekonomi yang adil, berkomitmen dengan budaya toleransi, budaya kesetaraan dalam hak dan kemitraan antara pria dan wanita.”[2]
Deklarasi ini patut diapresiasi karena ia mengingatkan peran penting yang bisa dilakukan oleh orang-orang religius dalam membangun tatanan dunia baru dengan cara mengajak untuk mewujudkan perdamaian abadi terlebih dahulu di antara mereka sendiri, sebelum mereka menyampaikannya kepada masyarakat luas. Hal itu agar mereka tidak terjerat dengan sebuah hikmah yang mengatakan: “Orang yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan dapat memberi apa-apa.” Deklarasi tersebut sampai pada kesimpulan bahwa: Tidak ada perdamaian di dunia ini tanpa adanya perdamaian antar-agama yang saling menghormati satu sama lain, dan tidak ada perdamaian antar-agama tanpa adanya dialog di antara mereka, dan kemanusiaan tidak akan langgeng tanpa adanya etika internasional.
Kami sangat sepakat dengan pernyataan-pernyataan ini, apabila yang dimaksud adalah menghadirkan etika-etika agama ke tengah realitas masyarakat dan mengatur perilaku mereka dengan kandungan etika yang luar biasa besar, yang mampu menegakkan keadilan dan kesetaraan, serta senantiasa mengingatkan akan sentralitas “perdamaian” dan urgensitasnya bagi manusia, layaknya urgensitas makanan dan minuman bagi mereka.
Adapun jika tujuan utama dari urgensi mewujudkan perdamaian antar-agama adalah untuk menunjukkan arti negatif dari istilah ini, yaitu istilah: pentingnya menghentikan peperangan yang disulut oleh agama dan tanggung-jawabnya terhadap pertumpahan darah, sebagai penegasan dari ungkapan turun-temurun yang menyatakan bahwa: “Sumber utama terjadinya peperangan adalah agama”, maka saya berkeyakinan bahwa para pemeluk agama dari berbagai agama tidak akan menyetujui dan meyakininya, justru mereka meyakini sebaliknya, yaitu: hilangnya “Agama Tuhan”, pe-negasi-an terhadapnya, memarjinalkannya, meremehkan kedudukannya, mencela keimanan kepada Tuhan dan adanya kekafiran kepada-Nya, serta terlepas dari aturan-aturan etika agama, adalah sumber utama terjadinya dan tersulutnya peperangan pada abad lalu dan pada awal abad ke-21, abad keilmuan dan kemajuan, abad hak asasi manusia dan piagam perdamaian internasional. Kita tidak mengingkari bahwa peperangan brutal masih terus menyala dalam beberapa dekade, di mana agama disetir dan dijadikan sebagai bahan legitimasi api peperangan tersebut; namun agama justru menjadi korban utama peperangan ini dan yang paling dirugikan di “pasar-pasar”-nya.
Perkenankan saya —wahai para cendekiawan yang terhormat— untuk mengungkapkan keheranan saya atas melekatnya ungkapan “Agama adalah penyebab terjadinya peperangan” di benak para pemuda kita, bahkan di benak kebanyakan orang-orang tua kita. Dan ungkapan tersebut mendorong mereka untuk meyakini bahwa tiada jalan bagi kemanusiaan agar dapat menikmati perdamaian dan koeksistensi, kecuali dengan menjauhkan agama dari pusat-pusat kontrol dalam kehidupan manusia, dari panggung masyarakat, dan mengalihkannya kepada urusan pribadi secara privat yang tidak melampaui hati pemeluknya hingga berpengaruh terhadap perilaku masyarakat, baik pengaruh itu kecil maupun besar. Keyakinan ini dapat mendorong terbukanya secara lebar pintu-pintu ateisme di hadapan para pemuda kita, dan seiring dengan itu, manusia era ini telah kehilangan sesuatu yang paling berharga yang ia miliki sebagai “makhluk berakhlak” berdasarkan fitrah asal dan tabiatnya. Dan hakikat ilmiah menegaskan bahwa fenomena yang memiliki banyak sebab tidak bisa dibenarkan hanya ditafsirkan dengan satu sebab saja.
Sesungguhnya aksioma pengkajian sejarah masa lalu dan masa kini mengatakan bahwa “agama” saja tidak cukup untuk menjelaskan pecahnya peperangan, karena penyebabnya memang beragam dan komplikatif, yaitu: sebab psikologis, sosial, ekonomi dan politik. Bahkan masih ada sebab-sebab lain selain konflik agama, yaitu perseteruan atas ketamakan kekuasaan dan ambisi hegemoni, ada juga karena kewajiban membela tanah air, budaya dan membela hal-hal privat dari serangan musuh, ada juga karena ambisi menggebu untuk menguasai sumber daya orang lain, ada juga karena ambisi untuk berkuasa dan mendominasi, dan ada juga karena tujuan perdagangan senjata serta konsekuensi pemasarannya melalui politik paralel yang berupaya untuk menciptakan ketegangan di tengah-tengah masyarakat sipil yang hidup tenteram.[3]
Sebagian orang mungkin mengira bahwa apa yang saya bacakan di hadapan anda semua ini —maksimalnya— merupakan salah satu bentuk “nyanyian” agama-agama; kita telah sering mendengarnya, dan bahwa kehidupan kita berjalan sesuai keinginan dan hasrat kita tanpa membutuhkan aturan-aturan norma, akidah keimanan, serta hal-hal metafisika dan perkara gaib. Hanya saja, dugaan ini dan yang semisalnya, ujung-ujungnya tidak lebih dari sekedar pengabaian terhadap hakikat kemanusiaan, ketidakmampuan dalam memahaminya dan kelemahan nyata dalam menanggung konsekuensi serta tanggung-jawabnya, utamanya adalah: kepekaan terhadap orang lain dan membantunya dalam mendapatkan hak-haknya secara utuh, terutama hak hidup dalam perdamaian. Ketidakmampuan ini, pada substansinya merupakan bukti nyata pentingnya agama dan urgensitasnya dalam kehidupan manusia. Ia adalah satu-satunya kekuatan yang dapat melindungi seorang mukmin agar tidak menjadi sasaran empuk bagi kecenderungan individual dan tiraninya, agar fokus pada dirinya sendiri dan membangun kebahagiaannya di atas mayat-mayat orang lain. Justru agama-lah yang membangunkan manusia untuk memenuhi panggilan tanggung-jawab, hati nurani dan menanggung konsekuensinya. Saya mengira, bahwa “Etika” ini merupakan neraca keutamaan dan standar kemajuan yang benar bagi individu, sebagai mana bagi negara-negara dan rakyat.
Saya akan kemukakan satu contoh dari seruan-seruan agama yang saya yakini (Islam), yaitu: ia menyamakan keharusan dalam membela, baik membela dengan cara berperang di jalan Allah ataupun membela dalam rangka berperang demi menyelamatkan orang-orang lemah dari kaum laki-laki, wanita maupun anak-anak:[4]
﴿وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا﴾ (النساء [4]: 75).
“Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari Sisi Engkau!” (QS. Al-Nisa` [4]: 75).
Contoh lain yang menjelaskan tentang kewajiban menanggung konsekuensi demi orang lain yang berbeda agama adalah: Allah Swt. Memberi izin kepada umat Islam untuk berperang —awal mula diizinkannya— karena dua alasan:
Pertama: Untuk menolak kezaliman yang menimpa mereka dari tirani paganisme;
Kedua: Guna mengamankan hak kebebasan berkeyakinan dan beragama bagi orang-orang yang percaya pada agama-agama Ilahi; baik orang-orang Yahudi, Kristen, ataupun Muslim:
﴿أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ ۞ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ﴾ (الحج [22]: 39-40).
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa Menolong mereka itu. ◙ (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah.’ Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut Nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti Menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj [22]: 39-40).
Dalam Teks Ilahi ini terlihat jelas dan tegas bahwa sebab utama disyariatkan perang dalam Islam adalah: Menolong orang-orang yang tertindas dan membantu mereka untuk mendapatkan hak hidup secara aman seperti yang lainnya. Ini merupakan perkara yang pensyariatannya tidak diragukan sekejap pun oleh akal sehat. Sebagaimana terlihat jelas dalam ayat ini bahwa perang disyariatkan untuk membela agama-agama samawi dari serangan kemusyrikan dan orang-orang musyrik. Dan yang menakjubkan dalam hal ini adalah, peperangan yang disyariatkan dalam Islam tidak terbatas pada kewajiban membela kebebasan beribadah dalam agama ini saja, namun diwajibkan juga —dengan pensyariatan yang sama— untuk memberi keamanan dan membela hak kebebasan beribadah pada agama-agama samawi lainnya. Renungkanlah pernyataan Ibnu Abbas Ra. saat ia menafsirkan ayat ini, di mana ia berkata: “Ahlu Dzimmah dibela oleh agama Islam dan para pemeluknya.” [5]Para ahli tafsir bertanya-tanya tentang masuknya biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan rumah-rumah ibadat orang Yahudi dalam rencana pertahanan Islam. Dan di antara jawaban yang mereka kemukakan adalah, bahwa tempat-tempat tersebut merupakan tempat-tempat yang paling dapat untuk mengumpulkan orang-orang beriman, walaupun tata-cara peribadatannya berbeda-beda. Lihatlah Imam Al-Razi, ia menafikan jika makna pembelaan terhadap tempat-tempat ini khusus hanya pada masa Musa As. dan Isa As. saja, bahkan ia menegaskan bahwa tujuan Islam membela tempat-tempat tersebut adalah agar tidak dirobohkan pada masa Rasul Saw., karena tempat-tempat ini sebagaimana yang ia katakan: “Di dalamnya terdapat penyebutan Allah Swt., maka ini tidak seperti penyembahan berhala.” [6]Maka dari itu, ayat yang mulia ini menaruh perhatian untuk membela tempat-tempat ibadah milik non-muslim.
Penafsiran yang saya kutip di hadapan anda ini bukanlah basa-basi semata, akan tetapi ini adalah penafsiran yang muncul di era Nabi Islam sendiri, pada abad ke-7 Masehi, lalu diriwayatkan turun-temurun oleh umat Islam lintas masa dan generasi dengan berpegang teguh pada tafsir Ibnu Abbas —sepupu Muhammad Saw. dan murid dekatnya— kemudian tafsir Al-Thabari pada abad ke-4 Hijriyah dan Imam Al-Razi pada abad ke-7 Hijriyah. Itulah yang saya pelajari saat saya menjadi mahasiswa di Al-Azhar pada tahun 50-an dan 60-an abad lalu; dan itu juga yang kami ajarkan saat ini kepada para mahasiswa kami khususnya di Jurusan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar.
Yang hendak saya sampaikan dari pemaparan ini adalah, bahwa norma yang menjadikan agama sebagai sumber referensi baginya dan patokan dari pokok-pokok serta cabang-cabangnya, merupakan norma yang diusung untuk melawan norma materi yang telah menguasai agama, mengontrolnya dan mempermainkannya. Dua abad telah berlalu, di mana telah terjadi —bahkan masih terjadi— serangkaian peperangan yang telah menelan jutaan nyawa. Saya tidak sedang berbicara mengenai kedua perang dunia dan perang-perang lainnya pada abad lalu yang terjadi di Eropa dan lainnya, akan tetapi saya sedang berbicara tentang peperangan sia-sia yang baru saja meletus di negara-negara kami, bahkan saya sebenarnya sedang berbicara tentang beberapa negara kami yang dihancurkan secara menyeluruh dalam tempo singkat, kemudian ditinggalkan luluh-lantak sampai hari ini. Saya sedang berbicara tentang perang Irak tahun 2003 M. yang meninggalkan duka, penderitaan dan kesedihan tiada akhir; saya berbicara tentang Syria di mana perkara yang tersembunyi kini telah terkuak, dan itu bukanlah konflik dua mazhab Islam: Sunni dan Syiah, sebagaimana yang dipropagandakan dengan penuh makar dan kebusukan yang besar, akan tetapi kemudian terungkap bahwa hal itu karena konflik dua aliran global yang menemukan pasar di dunia ini untuk mengekspor senjata dan pertumpahan darah; saya berbicara tentang tempat-tempat suci saya dan tempat suci anda yang ada di Palestina serta apa yang mereka hadapi saat ini dari arogansi kekuasaan, dominasi kezaliman dan politik pemusnahan serta pengusiran. Hal senada dikatakan juga untuk duka di Yaman, Libya dan selainnya. Saya sedang berbicara tentang kawasan malang ini yang telah berubah menjadi kolam darah, tempat kemiskinan dan penyakit, serta area uji coba untuk pengembangan senjata-senjata mematikan.
Semua tragedi mengerikan yang diderita oleh rakyat Timur-Tengah ini, di belakangnya terdapat sebab inti dan utama, yaitu berkembangnya masyarakat Barat dengan kekuatan yang dimilikinya, di bawah naungan modernitas yang bertolak dari pemisahan tegas terhadap agama, kemudian membelakangi warisan kemanusiaan yang mengandung banyak khazanah keilmuan yang sahih dan akhlak yang didukung oleh wahyu Ilahi. Di tengah-tengah modernitas baru ini, manusia kehilangan identitas aslinya dan berubah esensinya, bahkan telah berubah dari yang awalnya sebagai “Makhluk Berpikir” menjadi “Makhluk Materi Komoditi”, tidak memiliki hati yang tergerak karena kesengsaraan dan kesulitan orang lain, sebagaimana hatinya naik-turun di pasar industri dan perdagangan, pada “tarian” penawaran dan permintaan, serta “tepukan” laris dan resesi.[7]
Hadirin yang terhormat!
Saya tidak ingin membebani hadirin sekalian lebih berat dari itu, namun saya hendak menegaskan kepada anda semua bahwa saya datang ke sini bukan untuk memperdengarkan anda pujian dan sanjungan kepada agama Islam seperti datangnya saya kepada anda semua untuk menyampaikan kepada anda sebagian dari penaklukan Islam atas agama-agama Ilahi dengan penaklukan yang tiada bandingnya; dan bahwasanya tidak ada agama-agama Ilahi yang tercerai-berai dan berbeda-beda, akan tetapi hanya ada satu agama Ilahi yang dibawa oleh seluruh Nabi dan Rasul mulai dari Adam As., Nuh As., Ibrahim As., Musa As., Isa As. dan ditutup oleh Muhammad Saw. dan bahwa unsur-unsur kesepakatan serta persamaan yang paling menonjol antara risalah-risalah samawi setelah akidah adalah pokok-pokok etika yang terkandung dalam Sepuluh Perintah Tuhan, Khotbah di Bukit (Sermon on the Mount) dan wasiat-wasiat Al-Qur`an. Kami umat Islam, tidak sempurna keimanan kami kecuali kami beriman kepada Lembaran-lembaran (Shuhuf) Ibrahim As., Taurat Musa As. dan Injil Isa As. Kami membaca di dalam Kitab Suci kami bahwa Allah Swt. Menyebut Taurat dan Injil sebagai “hidayah dan cahaya”, dan Al-Qur`an telah membenarkan kedua kitab tersebut. Para Nabi adalah bersaudara, layaknya saudara dari satu bapak dengan ibu yang berbeda-beda, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Islam Saw. “Satu Bapak” itu adalah agama Ilahi yang mereka semua sama-sama terhubung kepadanya secara mutlak, sementara “Ibu yang berbeda-beda” itu adalah Syariat-syariat dan hukum halal-haram yang terkadang berbeda seiring dengan perbedaan waktu dan tempat antara satu Syariat dengan Syariat lain. Dan kami mengimani bahwa Sayyidina Isa As. adalah utusan Allah, diciptakan dengan kalimat-Nya[8] yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan dengan tiupan roh dari-Nya. Kami juga membaca di dalam Al-Qur`an sifat para pengikut Isa As. bahwa mereka adalah orang yang paling dekat cintanya kepada umat Islam, dan bahwa Allah Menjadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati mereka sebagai karakter mereka sepanjang masa. Allah Swt. Berfirman:
﴿…وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً…﴾ (الحديد [57]: 27).
“…Dan Kami Jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya…” (QS. Al-Hadid [57]: 27).
Sejarah Islam mencatat hubungan persahabatan antara umat Islam dan Kristiani sejak awal sejarah Islam. Sebagaimana telah tercatat, bahwa para pengikut Muhammad Saw. adalah orang-orang miskin dan lemah yang mengalami penyiksaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan dari orang-orang kafir Makkah. Ketika Nabi Saw. sudah tidak kuasa memberi perlindungan bagi mereka, beliau mengirim mereka ke negara Nasrani, Habasyah (Ethiopia), dengan rajanya yang Nasrani, yaitu Najasyi. Lalu umat Islam dua kali berhijrah ke sana, mereka mendapatkan pengayoman, perlindungan dan sambutan baik di sana; ia (Raja Najasyi) memberi jaminan keamanan atas agama mereka dan menolak bahaya dari orang-orang kafir Makkah serta pengejaran mereka di Habasyah.
Wassalâmu’alaikum wa Rahmatullâhi wa Barakâtuh.
Lisbon,
26 Jumada Tsaniyah 1439 H.
14 Maret 2018 M.
Ahmad Al-Thayyib
Grand Syekh Al-Azhar
*****
Catatan Kaki:
[1] Thaha Abdurrahman, Al-Akhlâq Al-‘Âlamiyyah: Madâhâ wa Hudûduhâ, hal. 12, Seri Makalah Thaba, Edisi 1, Juni 2008 M. Dalam makalah ini, Prof. Dr. Thaha mengomentari “Deklarasi Etika Internasional” yang dirilis oleh Parlemen Agama –agama Dunia pada tahun 1993 M. di Chicago, dan mengkritik pemisahan Deklarasi tersebut dari Referensi Agama dalam tatanan etika yang diserukannya. Dr. Thaha mengusulkan agar “Islam“ dijadikan sebagai referensi karena ia kaya akan nilai-nilai etika.
[2] Hans King, Limâdzâ Maqâyîs ‘Âlamiyyah li Al-Akhlâq? Al-Dîn wa Al-Akhlâq fî ‘Ashr Al-‘Aulamah, Penerjemah: Tsabit ‘Ied, Pengantar: Muhammad Imarah, Hal. 262-272, Darul-‘Ied, Zurich, 2010 M.
[3] Ibid., hal. 20, footnote 1. (dengan sedikit suntingan).
[4] Lihat pernyataan Al-‘Aqqad yang mendalam dan sangat berharga tentang falsafah Al-Qur`an. Mausû’ah Al-‘Aqqâd Al-Islâmiyyah, jil. 5, hal. 31-32, Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah, Beirut, 2015 M.
[5] Al-Razi, Ibid., hal. 41.
[6] Ibid.
[7] Sebagian lafal-lafal ini dipetik dari perkataan Al-‘Aqqad, Ibid., hal. 13, baris ke-10 dan 11 dari bawah.
[8] Maksud “Kalimat” di sini adalah “Kun!” (jadilah!), sehingga Nabi Isa As. diciptakan tanpa bapak. —Penj.
*****
Sumber:
http://www.azhar.eg/act/id/pidato-grand-syaikh-al-azhar-di-portugal-2018
Video:
Sumber:
Pusat Terjemah Al-Azhar (y)