Pencarian Salman Al-Farisi
Muhammad Wahidud Dahri
Hari itu, Nabi ﷺ berkumpul bersama para sahabat. Mereka sedang bermusyawarah tentang kondisi terkini yang mungkin dihadapi kaum Muslim. Kabar merebak bahwa orang-orang Makkah tengah menyiapkan pasukan besar untuk menyerang kaum Muslim. Konon, mereka tengah menyiapkan pasukan yang lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Kali ini, mereka akan menggalang seluruh sekutu mereka untuk menyerbu Madinah.
Musyawarah kali itu membahas apakah kaum muslim akan menyongsong keluar atau tetap bertahan di Madinah dan menanti musuh menyerbu. Di tengah berbagai pertimbangan dan pendapat, Sahabat Salman kemudian mengajukan usulannya. “Di negeri kami,” begitu katanya, “jika jumlah musuh terlalu besar dan kami ingin bertahan, biasanya kami membuat parit perlindungan sehingga musuh tidak bisa menyerbu ke dalam kota.” Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya usulan Salman ini pun diterima. Kaum Muslim sepakat untuk segera mengadakan kerja bakti pembuatan parit.
Usul ini merupakan suatu hal yang asing bagi kebiasaan tempur di jazirah Arab. Suatu taktik militer yang barangkali belum pernah diterapkan di wilayah Hijaz. Lazimnya, sebuah pertempuran di Hijaz dilakukan dengan saling berhadapan. Jika pun bertahan, maka pasukan bertahan akan memilih berdiam di dalam benteng, bukan membuat sebuah parit. Namun, taktik ini merupakan hal yang lazim dilakukan di negeri Salman, di Persia.
Mengenai bagaimana taktik tersebut dijalankan dan bagaimana hasil pertempuran tersebut yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Parit/Perang Ahzab, banyak sumber sejarah telah membahasnya. Bahkan, hal ini juga direkam dalam al-Qur’an. Kali ini, kita akan membahas soal si penggagas pembuatan parit, Salman.
Anak Pejabat Yang Menjadi Budak
Salman al-Farisi, seperti ditunjukkan dari namanya, memang berasal dari negeri Persia. Tentang bagaimana dia sampai di Madinah merupakan sebuah kisah pencarian kebenaran yang ditempuhnya dengan mengorbankan banyak hal dan menempuh banyak kesukaran.
Kisah perjalanan Salman dimulai ketika dirinya remaja. Tumbuh sebagai anak seorang pejabat lokal, Salman menikmati hal-hal yang layak dinikmati anak pejabat saat itu. Ayahnya adalah seorang penganut Majusi yang taat. Dia sangat menyayangi Salman hingga tidak membiarkan Salman keluar dari rumah. Tugas Salman hanya satu, menjaga api sesembahan yang ada di rumah keluarga itu agar tetap menyala.
Namun rupanya takdir berkata lain. Suatu hari, Salman, yang diutus ayahnya untuk suatu urusan, melihat sekelompok orang yang tengah beribadah dengan cara yang lain dari peribadatan ayahnya. Hal itu memunculkan rasa ingin tahu pada jiwa Salman yang masih remaja. Salman pun hanyut dalam memperhatikan mereka. Di hatinya terbersit bahwa inilah cara ibadah yang benar, bukan seperti yang dilakukan ayahnya.
Mulai saat itu, rasa haus akan kebenaran hakiki memenuhi dadanya. Di rumah, Salman pun berani mendebat ayahnya. “Bagaimana,” katanya, “kita menyembah sesuatu yang dapat kita hidupkan dan matikan dengan tangan kita sendiri?” Mendengar ini ayahnya murka. Salman dibelenggu agar tidak keluar rumah dan pergi ke tempat peribadatan orang-orang itu.
Namun, tekad di hati Salman benar-benar telah membesar. Keinginannya untuk mengetahui dan mempelajari ajaran orang-orang itu tidak bisa dibendung. Satu saat, kesempatan itu datang. Salman lari dari rumah dan melepaskan belenggu yang mengikat dirinya.
Segera dia pergi ke tempat peribadatan tersebut dan bertanya di manakah dirinya dapat mempelajari ajaran mereka. Orang-orang itu menjawab bahwa Salman harus pergi ke Syam. Dengan jiwa muda, sekaligus didorong semangat yang sangat besar untuk mencari kebenaran, Salman mengabaikan kesulitan-kesulitan yang mungkin ditemuinya dalam perjalanan di Syam. Tanpa perbekalan yang cukup, karena hanya seorang pelarian, Salman nekat pergi ke Syam bersama para pedagang yang pulang ke Syam.
Tiba di Syam, tekad Salman untuk berguru kian besar. Hingga, datanglah dia ke suatu tempat peribadatan. Kepada pemimpin tempat peribadatan itu, seorang lelaki setengah baya, Salman menyampaikan maksudnya untuk belajar. Lelaki itu menerima. Namun, Salman merasa tidak puas ketika melihat kenyataan bahwa ternyata pimpinan tempat ibadah itu adalah seorang yang tamak. Dia menghimbau kepada para jamaahnya untuk bersedekah, namun setelah sedekah terkumpul, tak sepeser pun yang disampaikan kepada orang-orang miskin. Ketika akhirnya pemimpin tempat ibadah itu mati, Salman menyampaikan kepada banyak orang tentang perilakunya. Orang-orang marah dan tidak ada satu pun yang sudi menguburkan jasadnya yang kemudian justru dilempari batu.
Pengalaman ini tidak membuat tekad Salman surut. Sekali lagi, dia mencari guru untuk membimbingnya mencari kebenaran. Kali ini, dia dipertemukan dengan seorang yang benar-benar saleh dan zuhud. Riwayat tidak menyebutkan berapa lama Salman tinggal bersama gurunya ini. Namun, sebelum gurunya wafat, Salman meminta nasihat agar ditunjukkan seseorang yang bisa membimbingnya. Gurunya menyebutkan nama seorang lelaki lain seperti dirinya yang hidup di wilayah Mosul.
Ketika gurunya wafat, Salman segera berpindah ke Mosul. Di sini dia belajar pada lelaki yang ditunjukkan oleh gurunya. Ketika gurunya ini hendak wafat, Salman meminta nasihat agar ditunjukkan seseorang yang bisa membimbingnya. Gurunya menyebutkan nama seorang lelaki lain yang hidup di wilayah Nasibin.
Di Nasibin, Salman berguru. Jiwanya yang tak pernah puas untuk mencari kebenaran membuatnya meminta petunjuk pada gurunya untuk ditunjukkan pada orang lain lagi yang bisa membimbingnya kepada kebenaran. Gurunya menyebut seseorang di wilayah Amuriyah, di Rum. Segera setelah gurunya wafat, Salman pun pergi ke sana.
Di Amuriyah inilah guru terakhir Salman. Ketika orang tersebut hendak wafat, dia berwasiat kepada Salman bahwa tidak ada lagi orang sepertinya. Namun, telah dekat masa diutusnya seorang nabi. Dia, nabi itu, ada di Hijaz. Dia memiliki tanda kenabian di antara dua bahunya. Dia tidak memakan shadaqoh, namun memakan hadiah. Inilah yang dicari Salman. Petunjuk tentang kebenaran hakiki. Hasratnya untuk bertemu sang nabi begitu besar.
Selepas gurunya wafat, Salman mengikuti rombongan pedagang Arab yang hendak pulang ke negerinya. Namun, rupaya nasib buruk menghinggapinya. Di jalan, dia dijebak dan ditangkap. Kemudian dijual kepada seorang penduduk Madinah. Takdir inilah yang kemudian mengantarkannya bertemu dengan sang nabi.
Demikianlah, melalui perjalanan yang panjang, berliku, dan penuh kesulitan, Salman akhirnya bisa bertemu Nabi ﷺ di Madinah. Ketika Salman mendapati bahwa seluruh ciri yang pernah disebutkan ada pada sosok Muhammad ﷺ, maka tanpa ragu Salman bersyahadat dan menjadi salah satu sahabatnya.
Perjalanan dan perjuangan Salman dalam mencari kebenaran hakiki menunjukkan dengan tepat bahwa ketika hidayah telah dianugerahkan oleh Allah kepada diri seseorang, maka tidak ada lagi yang bisa menghalanginya. Demikian juga, ketika kegelapan telah meliputi hati seseorang, maka tidak ada lagi yang dapat menolong dari ketersesatan.