La Spiritualité Familiale
Oleh: Fachrur Rozie
Dimulai dengan doa ta’awudz, lalu Bismillah… Lalu dari bibir mungil anak berusia 8 tahun yang bernama Ali itu melantunlah ayat: Yusabbihu lillaahi ma fi al-samawati wa ma fi al-ardl… sampai habis 18 ayat surat al-Taghabun juz 28. Dia melafalkannya dengan fasih dan lancar tanpa teks al-Quran, alias hafalan. Selesai itu, Ali kembali ke pangkuan ayahnya, nglendot, sementara para peserta di belakang riuh bergumam, masya Allah, masya Allah, berulang-ulang.
Kegiatan ‘pengajian’ rutin setiap Jumat malam pada minggu pertama setiap bulan di masjid Villeneuve d’Ascq atau Centre Islamique de Villeneuve d’Ascq itu memang selalu menghadirkan qari’-qari’ kecil hasil didikan para ustadz di masjid ini. Setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu, masjid berarsitektur modern dan memiliki halaman yang luas ini ramai dengan anak-anak yang mengaji. Karena sekolah formal libur pada hari-hari itu (Rabu masuk setengah hari dan Sabtu libur atau sebaliknya, Sabtu masuk setengah hari dan Rabu libur).
La Spiritualité Familiale atau spiritualitas keluarga menjadi tema yang dipilih pada pengajian atau conférence Jumat malam awal Maret 2018. Tema ini menarik dan tentu saja penting karena spiritualitas adalah kebutuhan setiap manusia yang hidup. Spiritualitas adalah jiwa, spiritualitas adalah energi.
Abdallah Manchour Ben Mansour, President de la FIDEC (Forum International de Dialogue et d’entente entre Les Civilisations/Forum internasional untuk Dialog dan Pemahaman antar Peradaban) dan FOIE (Federation of Islamic Organisations in Europe/Federasi Organisasi Islam di Eropa) 2014-2018, yang pada kesempatan itu menjadi pembicara memulai presentasinya dengan memaparkan apa itu hati dan apa itu jiwa (al-qalb wa al-nafs). al-Qalb atau le cœur bisa bermakna spiritualitas, misalnya dalam firman Allah yang artinya, “ketahuilah bahwa dengan berdzikir maka hati/jiwa akan menjadi tenang (al-Ra’d, 28). Namun ia juga bisa bermakna material, yakni sebongkah organ atau perangkat di dalam diri seseorang yang berfungsi memompa darah. Nah, maka spiritualitas lebih cocok maknanya ke al-nafs/jiwa yang di dalamnya terkandung esprit, ada semangat. Jika kesehatan hati yang material itu bisa diperoleh melalui jalan al-Riyadlah (olahraga), maka kesehatan jiwa diperoleh melalui al-adab/al-akhlaq.
Ada tiga faktor penting yang berkontribusi membangun spiritualitas seseorang, pertama ibu, kedua lingkungan sekitar, ketiga guru/sekolah. Ibu adalah simbol keluarga. Tugas seorang ibu sangat berat, karenanya keharusan anak untuk menghormati ibu tiga kali lebih besar ketimbang respek kepada ayah, sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang terkenal yang menyebut tiga kali nama ibu, baru kemudian ayah.
Spiritualitas juga ada level-levelnya dan setiap muslim semestinya berusaha untuk mencapai level tertinggi. Taqwa, al-birr, dan ihsan. Taqwa adalah sikap menolak dan meninggalkan semua bentuk kemaksiatan. Al-Birr adalah melakukan semua bentuk kebaikan, berbuat baik kepada semua makhluk, juga berbuat baik kepada Allah. Sementara ihsan adalah gabungan taqwa dan al-birr yang dilakukan tanpa pamrih atau hanya berharap pada ridla ilahi.
Kita tidak tahu berada di level yang mana, tetapi saya percaya bahwa setiap manusia, iya, setiap manusia, termasuk yang mengaku dirinya tidak percaya kepada Tuhan, memiliki naluri untuk berbuat kebaikan kepada sesama, kepada yang lain, dan percaya kepada Tuhan, tends to good, tends to God. Acara diakhiri dengan doa oleh beliau sendiri dilanjutkan kumandang adzan Isya. Usai shalat Isya, acara inti yang kedua dimulai, dan ini acara inti yang sesungguhnya saya tunggu, makan-makan. Wallahu a’lam bi al-shawab***
*penulis adalah Direktur Yayasan Miftahul Huda Kroya yang pertama. Saat ini, tengah menempuh S3 di Prancis.