Perjuangan Para Dai Muda di Zaman Penjajahan
Tidak ada satu pun bangsa yang menginginkan para pemudanya gagal dalam menatap masa depan. Hal ini sudah jauh disadari oleh para kiai dan kalangan pesantren ketika menyiapkan para pemuda sebagai tumpuan kehidupan bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Bahkan, kesadaran tersebut tidak hanya dilakukan untuk menyiapkan masa depan, tetapi juga menggembleng para pemuda untuk ikut berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Berbagai upaya strategis dilakukan oleh seorang KH Abdul Wahab Chasbullah, ulama asal Tambakberas Jombang untuk menginisiasi gerakan pemuda di sejumlah daerah pada 1916.
Kesadaran mewadahi para pemuda juga dilakukan di Sokaraja, kota kawedanan kecil di Banyumas sekitar tahun 1932. Mereka menyebutnya sebagai Kursus Nasyi’in. Lembaga ini menurut KH Saifuddin Zuhri dalam buku karyanya Berangkat dari Pesantren merupakan salah satu wadah penggemblengan para pemuda.
Selain meningkatkan kapasitas keilmuan agama, wadah ini juga berupaya keras menumbuhkan kesadaran dan kecintaan para pemuda kepada agama dan bangsanya. Wadah ini juga menyiapkan para pemuda untuk menjadi pendakwah masa depan yang cakap dalam keilmuan agama, berbahasa, serta peduli dengan nasib bangsanya.
Kursus Nasyi’in ini dibuat salah satunya karena melihat fenomena bahwa organisasi di luar Nahdlatul Ulama masif dalam mengirimkan para juru dakwah, baik di desa maupun di kota. Para kiai pesantren menyadari, masyarakat di berbagai pelosok daerah juga memerlukan bimbingan keagamaan.
Para Nasyi’in diharapkan tidak hanya memberikan asupan religiusitas ala tradisi keilmuan pesantren kepada masyarakat, tetapi juga menanamkan kecintaan terhadap bangsanya. Langkah ini bagi para ulama lokal penting untuk membangun pondasi kekuatan masyarakat untuk mencapai kemerdekaan.
Setidaknya, keberhasilan para Nasyi’in di tengah masyarakat Sokaraja sendiri dalam menanamkan keilmuan pesantren terlihat ketika mereka terlihat antusias menyambut kedatangan Hadrtaussyekh Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah ketika akan meresmikan NU Cabang Sokaraja pada tahun 1932 (cikal bakal NU di seluruh daerah Banyumas).
Hal ini berbanding terbalik ketika pemimpin paling terkemuka Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Haji Oemar Said Tjokroaminoto berada di Sokaraja selama hampir dua bulan pada 1933. Tokoh ini sangat tenar, guru Ir Soekarno dan amat tidak disukai oleh pemerintah Hindia Belanda dan memilih Sokaraja sebagai tempat tinggalnya.
Tetapi aneh sekali, kedatangannya di kota kawedanan yang kecil itu tidak membuat gempar penduduk ketimbangan kedatangannya beberapa tahun lampau ketika Tjokroaminoto berpidato dalam suatu lezing yang dibanjiri lautan manusia yang dengan bangga menamakan diri, Syarekat Islam. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)
Jadi, jauh sebelum Nahdlatul Ulama lahir di Banyumas, masyarakat di situ boleh dibilang semua adalah Kaum Syarekat Islam. Namun, ajaran, perjuangan, dan wisdom para kiai lebih melekat pada diri masyarakat kampung. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga memberikan teladan perjuangan sejati untuk kepentingan masyarakat luas.
Dikirim ke Pelosok Desa
Tiap malam Jumat, para Nasyi’in dikirimkan oleh pengurus ke desa-desa untuk memberikan dakwah di sekitar Sokaraja. Tiap desa dikunjungi kelompok Nasyi’in yang terdiri dua hingga tiga orang. Kemudian secara bergiliran tiap malam Jumat berikutnya untuk mengunjungi desa lain.
Dengan demikian, para Nasyi’in mempunyai pengalaman tentang masyarakat di desa-desa yang berlainan. Desa yang dekat dicapai dengan jalan kaki. Tetapi desa yang agak jauh, mesti dicapai dengan mengendarai sepeda atau delman. Desa yang menerima kedatangan para Nasyi’in siap mengganti ongkos jalan, kadang-kadang bahkan melengkapi mereka dengan ‘berkat’.
Namun, sebelum terjun ke lapangan mengabdi kepada masyarakat, para juru dakwah digembleng di lembaga Kursus Nasyi’in. Lembaga ini dipenuhi para pemuda sehingga para guru dan kiai yang mengisi kursus tersebut kerap memotivasi dari sisi kepemudaan.
Para guru mengungkapkan teladan para tokoh muda pejuang seperti Sayyidina Ali, Sayyidina Umar, Sayyidina Khalid bin Walid, dan Sayyidina Abu Ubaidah, para pemuda yang usianya antara 20-30 tahun tetapi mampu mengukir sejarah dalam peradaban Islam.
Juga Pangeran Diponegoro yang tidak lain adalah Sentot Ali Basya Prawirodirdjo yang saat awal berjuang berusia 19 tahun. begitu juga dengan Kiai Mahfudz Siddiq, Kiai Abdullah Ubaid, Kiai Tohir Bakri, Kiai Ilyas, dan Kiai Wahid Hasyim yang ketika berjuang belum genap berumur 30 tahun.
Di antara wisdom yang disampaikan oleh para guru dalam Kursus Nasyi’in yang diungkap KH Saifuddin Zuhri ialah:
Innal fata man yaqulu haa ana dzaa, laisal fata man yaqulu kaana abi (pemuda sejati ialah yang percaya pada dirinya sendiri, bukan yang menyandarkan pada ketenaran bapaknya).
Sesekali, para kiai dan guru pendamping juga mengutip pernyataan ulama. Salah satu kebijaksanaan ulama yaitu dari Syekh Musthafa al-Ghulayaini dalam kitab ‘Izatun Nasyi’in (nasihat buat para pemuda):
Inna fii yadis syubbani amrul ummah, wa fii aqdaamihim hayaatuhaa (di tangan pemuda terletak nasib suatu umat, dan sebab gerak langkah para pemuda maka umat menjadi hidup.
Sumber: nu.or.id