Ketua Muhammadiyah Larang Pekik “Allahu Akbar” Pada Pertemuan Internal
Sebuah tindakan yang tidak populis haru diambil oleh Ketua Umum Pengusrus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir. Ia melarang pekik ‘Allahu Akbar” saat pertemuan internal Muhammadiyah. Menurutnya, kalimat ini sering disalahgunakan.
Sebuah alasan mendasar yang cukup kuat dan harus dipahami oleh umat Islam menyebutkan kalimat “Allahu Akbar” dalam sebuah kegiatan.
Dengan kata lain Haedar ingin menunjukkan bahwa Muslim yang baik adalah Muslim yang berilmu dan berkontribusi positif bagi masyarakat, bukan mereka yang sedikit-sedikit meneriakkan “Allahu Akbar” untuk sesuatu yang sebenarnya sangat politis dan bukannya religius.
Padahal untuk menyebut nama Takbir Allahu Akbar jika direnungkan Allah Maha Besar, Kebesaran-Nya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, tidak pula dapat diliputi oleh pikiran kita. Tentunya kita tidak mungkin memikirkan bagaimana hakikat dzat Allah. Akan tetapi dengan cara melihat bagaimana makhluk Allah yang amat besar, akan tampak kepada kita kebesaran Allah Yang Maha besar lagi Maha Mulia.
“Allahu akbar adalah kalimat toyyibah, kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau alat untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok,” kata Haedar di Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di The University of Queensland (UQISA), Rabu (21/02/18).
Fenomena ini pula yang menurutnya membuat posisi Muhammadiyah, NU, dan mayoritas Muslim Indonesia yang moderat menjadi sangat penting serta perlu memperkuat posisi Muslim moderat di masyarakat.
Larangan tersebut menurutnya bertujuan untuk membendung pertumbuhan kelompok radikalis yang biasanya mereaksi pihak lain yang sama radikalnya.
Ia mengatakan bahwa keputusan tersebut diberlakukan secara internal di lingkungan Muhammadiyah untuk membangun karakter anggota yang religius sesuai dengan ajaran agama Islam, tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain. Sehingga perlu dipahamai agar masyarakat tidak mencuplik berita tersebut untuk mendiskreditkan Muhammadiyah dengan mengangkat isu seolah-olah larangan tersebut diberlakukan secara umum.
Selain itu dalam pemaparannya di depan para mahasiswa dan staf pengajar UQ, Haedar juga mengakui adanya mahasiswa Indonesia yang justru menjadi radikal setelah kuliah di luar negeri. Menurutnya ini semacam fenomena “salah pergaulan”.
“Karena itu bila kita tidak bisa mempengaruhi, sebaiknya jangan bergaul dengan mereka yang sudah diketahui berpaham radikal,” lanjutnya.
Muhammadiyah sendiri justru menawarkan pendekatan moderasi dalam berhadapan dengan kelompok radikal, bukan deradikalisasi.
Deradikalisasi, kata Haedar, adalah berusaha mengubah pihak radikal dengan cara yang juga radikal. Ia merasa pendekatan ini kurang pas, terutama untuk jangka panjang, karenanya Muhammadiyah mengedepankan moderasi.
Aspek krusial lain yang dilihat Muhammadiyah adalah penegakan hukum. Masyarakat akan terus memantau bagaimana aparat, sebagai representasi negara, memperlakukan pihak-pihak yang dipersepsi melakukan hal yang sama.
Kelompok moderat seperti Muhammadiyah dan NU sangat penting dalam membendung pertumbuhan radikalisme. Bila negara secara tidak langsung ikut berkontribusi “menumbuhkan” kelompok radikal dengan kebijakannya yang tidak adil, maka peran yang diemban kelompok moderat menjadi makin berat.
Padahal, di saat yang sama, Muhammadiyah, NU, dan kelompok moderat lain juga harus bekerja keras membangun agar umat Islam maju dan mapan baik di ranah politik, ekonomi, pendidikan, bisnis, budaya dan lainnya.
“Umat Islam yang moderat ini takkan bisa menjalankan perannya dengan baik dalam menjaga stabilitas di masyarakat bila dirinya sendiri terbelakang,” kata dia. (wartakota)