Yang Halal

K. H. Su’ada Adzkiya

Ada satu ujaran yang menjadi ajaran dalam Islam, bahkan ajaran yang sangat prinsip, ujaran yang dimaksud berbunyi:

طلب الحلال فريضة بعد فريضة

Mencari yang halal itu kewajiban di samping kewajiban yang lain.

Mengapa demikian? Karena ada sabda Rasulullah SAW:

كل لحم نبت من سحت فالنار اولى به

“Tiap daging yang tumbuh dari yang haram maka nerakalah yang lebih layak untuknya.”

Orang yang suka makan yang haram jarang mendapatkan pertolongan untuk melakukan amal saleh. Kalau toh pada lahirnya orang itu mendapat pertolongan, hingga mampu melakukan amal yang saleh, maka pasti amal itu terkenal penyakit batin yang merusakkanya, entah itu ujub atau gede rasa, riya atau pamer dan sejenisnya.

Pokoknya, orang yang makanannya yang haram-haram, maka amalnya akan ditolak kembali kepadanya, tidak diterima Allah karena Allah itu suci dan baik, Dia tidak akan menerima kecuali yang suci dan baik. Hal demikian itu disebabkan karena tak terbayangkan adanya suatu amal tanpa gerakan anggota tubuh. Anggota tubuh tak mungkin ada bila pemiliknya tak punya tenaga. Tenaga didapatkan dari makanan. Jika makanannya kotor, tidak halal, maka apakah tenaga dan gerak yang dihasilkan tidak ikut kotor?

Dalam sebuah hadis marfu’ disebutkan:

من اشترى ثوبا بعشرة في ثمنه درهم حرام لم يقبل الله له صلاة ما دام عليه . متفق عليه

“Barang siapa membeli sepotong pakaian dengan harga sepuluh dirham, yang di dalamnya ada satu dirham yang didapatkan jalan haram, maka Allah tidak akan menerima shalat orang itu selama masih ada dirham yang haram tersebut.”

Mendengar hadis ini, seharusnya kesadaran kita berbicara. Kalau Allah tidak menerima shalat orang yang 10% harga pakaiannya dibayar dengan duit haram, maka apalagi kalau pakaian yang dikenakan seluruhnya dibayar dengan uang yang haram? Kesadaran kita seharusnya berkembang lebih jauh. Kalau pakaian yang hanya menempel di luar badan saja demikian pengaruhnya terhadap diterima tidaknya suatu amalan, bagaimana pula makanan yang masuk terserap otot dan urat dan menyelusup ke seluruh anggota tubuh? Alhasil, halalnya yang kita makanan merupakan syarat mutlak diterimanya amalan kita.

Barang-barang yang haram ada dua macam. Pertama, barang yang memang asalnya haram seperti bangkai, darah, arak, dan semacamnya. Barang-barang yang najis, yang jelas membahayakan. Barang-barang jenis ini tidak dapat menjadi halal sama sekali kecuali dalam keadaan sangat terpaksa, yaitu keadaan yang mengharuskan kita makan yang haram untuk sekedar agar kita tidak mati kelaparan ketika yang lain, yang bisa dimakan, tidak ada. Selain itu, membuat, mengadakan, mengedarkan, dan memiliki barang-barang semacam itu pun terlarang.

Kedua, barang yang aslinya halal. Artinya tidak termasuk yang haram, namun cara mendapatkannya tidak dibenarkan oleh syariat atau agama. Jadi, semua barang, baik yang halal lebih-lebih yang dasarnya memang haram, yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak benar itu menjadi haram.

Dalam hal ini, cara mendapatkan sesuatu yang tidak dibenarkan agama tidak hanya dengan cara mencuri, menggarong, mencopet, merampas, menipu, dan cara-cara yang sudah umum diketahui bahwa itu tidak benar. Cara mendapat sesuatu yang pada mulanya benar, jual beli umpamanya, dapat menjadi tidak benar bila dilakukan dengan cara yang tidak sesuai aturan agama. Yang sering tidak disadari, dan mungkin dilakukan banyak orang di antara kita, adalah menjual atau membeli barang hasil pembelian yang belum diserahterimakan. Hal yang juga sering digampangkan orang adalah membeli sesuatu hasil perbuatan yang tidak benar.

Kalau demikian adanya, maka menjadi kewajiban kita untuk tidak melakukan sesuatu sebelum kita mengetahui hal itu boleh dilakukan atau tidak. Mungkin ada yang beranggapan, wah kalau demikian kita semua harus menjadi ahli agama, sebab yang mengetahui apakah sesuatu itu boleh dilakukan atau tidak itu mereka. Tidak. Anggapan itu tidak benar. Toh, tidak semua kita melakukan semua hal. Cukup bagi mereka yang akan melakukan sesuatu bertanya dahulu kepada yang ahli mengenai boleh tidaknya sesuatu yang akan dilakukan itu. ini tidaklah terlalu sulit, bahkan seringkali mudah sekali.

Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui dengan siapa kita melakukan transaksi jual beli dan sebagainya, atau dalam bahasa agamanya kita harus mengetahui dengan siapa kita ber-muamalah. Dalam hal ini, kita bisa membagi orang ke dalam tiga kelompok.

Pertama, orang yang kita kenal baik agamanya, artinya cara dia mendapatkan dan memutar hartanya baik menurut agama. Dengan orang semacam ini kita dapat merasa tentram ber-muamalah. Kita tidak perlu khawatir salah dan dipinteri atau dibodohi.

Kedua, orang yang kita tidak tahu apakah dia orang baik atau bukan. Yang terpuji, untuk ber-muamalah dengan orang semacam ini kita mencari tahu lebih dahulu. Tapi itu tidak harus. Seandainya pun kita akan mencari tahu, kita pun harus sangat berhati-hati sehingga kita tidak terjerumus melanggar larangan, yaitu berburuk sangka kepada orang lain.

Ketiga, orang yang sudah kita kenal biasa berbuat tidak baik. Suka makan riba, suka ngawur dalam jual beli, tidak peduli dari mana dan bagaimana dia mendapatkan harta, yang penting dapat. Dengan orang macam ini sebaiknya kita tidak usah ber-muamalah sama sekali. Kalau toh kita harus ber-muamalah, sebaiknya kita harus selalu berhati-hati sehingga kita dapat menjaga diri dari perbuatan yang tidak benar, umpamanya membeli dari dia sesuatu yang ia dapatkan dengan cara tidak benar.

Kunci untuk itu semua adalah kita tidak terlalu memperturutkan keinginan kita mendapatkan sesuatu, khususnya mendapatkan sesuatu dengan harga semurah-murahnya.

Kroya, 23 Juli 1999

*Kutipan khutbah Jumat yang pernah disampaikan di Masjid Miftahul Huda

K. H. Su’ada Adzkiya, pengasuh PP Miftahul Huda Kroya. Rois Syuriah PCNU Kab. Cilacap

 

 

Satu tanggapan untuk “Yang Halal

Tinggalkan Balasan ke Ari Suswanto Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: