Tafakur*
Oleh: K. H. Suada Adzkiya
Ada satu pemberian Allah yang benar-benar sama rata, tidak ada bedanya antara orang besar dan orang kecil, antara rakyat dan mereka yang berpangkat, antara orang baik dan orang jahat. Pemberian itu adalah waktu atau masa. Setiap orang mendapat bagian yang sama. Satu tahun dua belas bulan, sebulan tiga puluh hari, sehari dua belas jam, satu jam enam puluh menit. Semua sama yang membedakan mereka adalah pemanfaatan waktu-waktu tersebut. Ada yang bermanfaat, bernilai, yaitu bila dimanfaatkan untuk kebaikan. Sebaliknya ada yang berlalu tanpa arti.
Bicara tentang kemanfaatan waktu, banyak di antara kita yang baru mengetahui bahwa yang namanya memanfaatkan waktu itu adalah menggunakannya untuk kegiatan-kegiatan yang nyata, baik berupa kerja atau melakukan amalan. Banyak di antara kita belum tahu bahwa di antara pemanfaatan waktu, yang juga sangat dihargai oleh agama, adalah memanfaatkan waktu untuk bertafakur, untuk merenung.
Cara memanfaatkan waktu secara demikian adalah cara yang sangat efektif dan efisien, sangat berdaya guna dan berhasil guna. Di samping itu, bertafakur dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan apa saja. Ini berbeda dengan pemanfaatan waktu untuk hal-hal lainnya yang sering menuntut adanya beberapa persyaratan. Memanfaatkan waktu untuk bekerja, umpamanya, ada syarat kesehatan yang memadai. Untuk shalat, misalnya, ada syarat suci dan seterusnya. Namun bertafakur tidak membutuhkan syarat apapun.
Bertafakur adalah kerja hati dan pikiran, hampir sama dengan melamun dan berandai-andai, atau sama dengan berfikir dan membuat rencana. Bedanya, bertafakur itu pasti positif, sedangkan melamun dan berandai-andai itu hampir pasti negatif karena paling tidak membuang waktu tanpa arti. Nah, apakah pekerjaan hati dan pikiran kita?
Agar kerja hati dan pikiran kita tidak merosot nilainya, hanya melamun, para ulama memberkan tuntunan berkenaan dengan tafakur atau perenungan. Namun, sebelum itu kami ingin menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan nilai tafakur atau penilaian orang terhadap tafakur.
Sebuah hadis menyatakan,
تفكر ساعة خير من عبادة سنة
“Bertafakur sesaat itu lebih baik ketimbang beribadah satu tahun (yang tanpa tafakur)”
Sayidina Ali K. W. berkata,
لا عبادة كا لتفكر
“tidak ada ibadah yang seperti tafakur”
Sementara orang arif berkata, “tafakur adalah penerang hati. Oleh karena itu, apabila hilang tafakur, maka hati tidak akan terang.” Dengan kata lain, hati dan pikiran yang tidak digunakan untuk bertafakur akan gelap.
Di antara alur renungan atau tafakur yang dianjurkan adalah merenungkan betapa banyak dan beragam anugerah, karunia, dan nikmat yang dilimpahkan Allah kepada kita. Sayangnya, hampir semua kita seringkali tidak menyadari atau lupa bahwa banyak sekali karunia dan anugrah Allah. Ini terutama terjadi ketika kita dalam keadaan normal. Kita baru menyadari karunia atau nikmat Allah bila ada hal yang lenyap dari diri kita, atau ketika kita tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan.
Contoh kecil dan sederhana, kita dapat menghirup udara ke dalam rongga dada kita dan kita dapat mengeluarkannya kemudian. Dalam keadaan normal dan biasa-biasa saja, siapakah di antara kita yang menyadari atau ingat bahwa ketika menghirup udara ke dalam rongga dada kita sebenarnya kita sedang mendapatkan karunia dan nikmat Allah. Baru ketika hidung kita tersumbat karena flu, lebih-lebih bila kita terkena sesak nafas karena asma, apalagi kalau pernafasan kita dibantu oksigen, barulah kita menyadari bahwa dapat menghirup udara dan mengeluarkannya bukanlah hal yang remeh. Bahwa dapat menghirup dan mengeluarkan udara itu adalah suatu karunia, suatu nikmat, dari Allah. Padahal dalam satu hari satu malam berapa kali kita melakukannya? Terlebih lagi hal itu kita lakukan tiap hari sepanjang hidup kita. Dan, itu semua adalah karunia dan nikmat Allah.
Oleh karena itu, Maha Benar Allah yang berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu memperhitungkan nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menuntaskannya” (Surat Ibrahim 34).
Artinya tidaklah kamu dapat menghitung seluruhnya. Jika satu, dua, seratus, seribu, dua ribu, itu masih bisa, tapi seluruhnya pasti tidak. Bayangkanlah, baru nikmat dapat menghirup dan mengekuarkan udara saja sudah begitu. Belum lagi nikmat yang lain-lainnya.
Orang yang suka menapi alur perenungan ini, yaitu suka merenungkan betapa banyak dan beragam anugrah, karunia, dan nikmat Allah kepada kita, maka akan timbul rasa tawadlu’, rasa rendah hati, dalam dirinya karena sadar bahwa betapapun ia dapat berhasil, dapat berprestasi, namun hasil dan prestasi itu sebenarnya hanyalah wujud dari karunia dan nikmat Allah. Sedangkan dia hanya sekedar ketempatan. Selanjutnya akan timbul rasa syukur dalam dirinya bahwa Allah telah memilih dia dari sekian banyak hamba-Nya, sebagai tempat curahan karunia dan nikmat-Nya. .
Pada akhirnya, akan timbul rasa cintanya kepada Allah karena ia menyadari betapa Maha Murahnya Allah kepadanya dengan melimpahkan karunia dan nikmat. Dan itu semua akan mendoronnya untuk semakin tulus mengabdikan diri kepada Allah. Semakin tulus beribadah kepada Allah, dan ujungnya adalah kebahagiaan dan keberuntungan akan dapat dirahnya. Itulah makanya Allah berfirman,
فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (al-A’rof 69).
Karena itu semua, marilah kita melatih diri untuk banyak bertafakur. Sekali lagi, bertafakur adalah ibadah yang sangat tinggi nilainya. Ini dapat dilakukan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan apa saja.
والله الموفق الى اقوام الطريق
Kroya, 21 Mei 1999
*kutipan khutbah Jum’at yang pernah disampaikan di Masjid Miftahul Huda Kroya